Muhammadiyah Biologis, NU Ideologis

 

Sebagaimana pernah saya tulis beberapa waktu lalu, saya adalah tipikal orang yang suka dolen. Kemana saja. Asal jelas dan punya misi dan tujuan tertentu. Lebih-lebih jika dolennya ada misi khusus atau, wawancara, menemui orang dan kenalan baru. 


Kalau ada ajakan dolen semacam itu, sudah pasti saya iyakan. Kalau waktunya pas tentunya. Kalau ajakan dolan healing saya masih berpikir dua kali. Pertimbangan paling besar tentu; waktu dan finansial wkwkw. 


Nah seperti pekan lalu, beruntung sekali saya akhirnya bisa dolen plus tabarruk ngopi dengan salah satu tokoh intelektual muda Lamongan. Namanya Mas Afiqul Adib. 


Saya pertama kali mengenalnya bukan dikenalkan atau bertemu dalam sebuah acara. Saya justru pertama tahu adalah dari tulisannya. Ya begitulah lazimnya seorang intelektual, kan biasa dikenal dari tulisannya wkwkw. 


Ya dia ini sering nulis artikel di terminal Mojok.co. Kebetulan pas itu tulisan saya juga baru diterbitkan disana dan ndak sengaja membaca nama belio juga. Tulisannya waktu tentang Lamongan kalo Ndak salah. Dari situ saya ngerasa kok pengen ketemu orang ini. Paling tidak untuk sharing dan paling penting untuk menjalin relasi dan jaringan sesama penulis di Lamongan. Memang akhir-akhir ini salah satu hal yang sedang saya usahakan adalah bisa silaturahmi ke penulis lokal Lamongan.



Oh ya belio ini dulu pernah menempuh pendidikan sarjana di UIN Malang, kemudian melanjutkan magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang belionya aktif menjadi salah satu pengajar di UNISLA.


Kami pun kemudian saling bercerita bagaimana kami mulai aktif di dunia literasi dan kepenulisan ini. Utamanya Mas Adib ini, ia bercerita bahwa awal mula mulai tertarik menulis adalah ketika S-2 di Jogja. Ia mulai memberanikan diri menulis di media online seperti Mojok, millenials id dsb. 


Untuk mengasahnya ia juga ikut kelas Mas Iqbal Aji Daryono, esais detik yang Muhammadiyah itu wkkw. 


Menurutnya Jogja mempunyai peran besar dalam membentuk dirinya. Utamanya dalam urusan tulis menulis ini. 


Saya pun setuju dengannya. Sampai saat ini saya punya keyakinan, sebaik apapun kemampuan seseorang di sebuah bidang kalau tidak ditunjang dengan ekosistem dan lingkungan yang juga saling mendukung tentu tidak akan banyak pencapaian yang luar biasa. Paling ya mentok hanya achievement pribadi. Belum sampai pada taraf yang lebih luas.


“Mengapa Jogja bisa karena lingungannya mendukung. Acara-acara literasi sangat banyak mas. Trus para tokoh penulisnya pun humble, aku sering kok di warung kopi gitu ngobrol sama mereka” ungkapnya.


Secara umur saya tidak jauh beda sih, terpaut sekitar 2-3 tahunan tapi soal ilmu, pengalaman, karir ya kalah jauh. Soal asmara apalagi wkwkw. Tapi setelah ngobrol banyak ternyata kita punya kesamaan. 


Kami sama-sama punya darah biologis Muhammadiyah. Kami sama lahir dari kawin silang Muhammadiyah & NU. Dan kebetulan kami juga diberi kebebasan untuk memilih afiliasi ormas tanpa paksaan. 


"Makanya mas, sebenere aku masih punya kewajiban moral Mas tuk nulis di media Muhammadyah. Secara aku ini kan putra biologis seorang bapak Muhammadiyah. Tapi sampai sekarang jadi kek merasa berdosa " terang saya.


"Aku justru seringe nulis di media Muhammadiyah mas, Ibtimes rahma," jawabnya singkat 


Waduh sial, ternyata dia lebih Muhammadiyah dari dugaan saya wkwkw. 


“Wah ya ini Muhammad NU asli” wkwkw

Kami pun tertawa. 


Obrolan kami pun semakin gayeng. Tak sadar kafe itu mulai ramai. Adzan Maghrib bergema. Satu dua meja mulai saling bergantian diisi orang lain. Satu pergi, diisi oleh orang lain. Saya pun berpamitan.


Sore itu meninggalkan kesan mendalam bagi saya, utamanya sebagai putra biologis Muhammadiyah. Ternyata saya belum benar-benar Muhammadiyah.




Posting Komentar

0 Komentar