IKRAR MIMPI


Sorotan sinar mentari dengan anggunnya menyapa Rasyid lewat celah-celah kecil di jendela kamar pesanternnya, semangat baru ia rasakan, semangat untuk kembali memulai hidupnya, menorehkan sejarah mulai dari pesantrennya.  Ya,  di sinilah ia membangun mimpi yang terpendam selama ini. Mimpi yang telah di rancangya sebelum masuk pesantren ini  bersama teman karibnya ‘Zidan’. Pikirannya melayang jauh menengok masa lalu, membongkar lembaran-lembaran hidupnya di masa lalu ketika sedang mengikuti Olimpiade Sains Nasional di kota Blitar bersama Zidan.  
Waktu  itu Rasyid dan Zidan dengan penuh obsesi dan suara yang lantang berikrar  di depan makam Bung karno  untuk menunjukkan kesungguhan mereka atas mimpi-mimpi mereka.
            “Kami adalah ‘The Next IBNU SINA’ walaupun kapasitas keilmuan kami tidak seperti beliau, tapi semangat kami untuk mengembangkan ilmu pengetahuan jangan ditanyakan, karena semangat kami adalah  semangat ilmuwan untuk mengembalikan kejayaan Islam melalui ilmu pengetahuan.”
            Rasyid hanya tersenyum kecil mengingat mimpinya itu, mengingat ikrar itu, ikrar yang telah memompa segenap keinginan kuatnya untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu.
            Seperti biasa, ketika hatinya sedang bergejolak maka hal pertama yang Rasyid lakukan adalah menulis diary. Ia mengambil buku diary kecil lusuhnya di sudut perpustakaan Pondok Pesantren Al Fatih tempatnya belajar.
Rasyid ingin menambah daftar mimpinya yang kini telah berbilang ratusan. Baru menulis tanggal, ia teringat suatu hal. Ya, hari ini merupakan hari ulang tahunnya. Ulang tahun yang ke 19.
Semakin tak karuan saja perasaannya, antara senang juga sedih. Senang karena usianya bertambah dewasa, tapi sedih karena biasannya Rasyid selalu merayakan hari ulang tahunnya bersama orang-orang spesial, salah satunya adalah Zidan, karibnya yang akan selalu menemani Rasyid untuk kembali merenda mimpi-mimpinya, kembali meneriakkan ikrar mereka, sama seperti ketika di depan makam Bung Karno.
            Dengan suara lirih Rasyid kemudian mengucapkan ikrar lamanya. Sementara pikirannya jauh melayang bersama mimpi-mimpinya, mengingat sahabat karibnya.
            “Assalamualaikum…” tiba-tiba saja seseorang mengucap salam. Sontak Rasyid yang sedang terbang bersama angannya pun terkaget.
            “Waalaikum salam “ jawabnya cekatan sambil merapikan bukunya. kemudian ia membuka pintu perpustakaan yang menjadi kantornya itu dan munculah sosok pemuda yang tidak asing lagi baginnya, sahabat lamanya; Zidan.
            “Gimana kabarnya Syid, tambah alim aja nih?”  kata Zidan sambil memeluk Rasyid dengan penuh kerinduan.
            “Alhamdulillah sehat kok Dan,”
            “Masih ingat ikrarnya kan?”
            “Oh…tentu lah. Ayo kita baca lagi agar menambah semangat kita!!”  seru Rasyid bersemangat
            Dengan lantangnya mereka berdua berikrar. Sungguh tak terbayangkan semangat mereka berdua, seolah ada energi-energi lain yang membantunnya. Seluruh ruangan perpustakaan juga seakan mendapat suntikan semangat dari mereka berdua. Ikrar mereka diakhiri dengan tepuk tangan dari keduannya dan saling berpelukan.
            “Aku yakin kita pasti bisa meraihnya kawan, meski kita berada di tempat yang berbeda, namun kita tetap memandang langit yang sama.” Kata Rasyid pelan sambil mengajak Zidan duduk di satu sudut perpustakaan.
            “Kita bisa meraihnya, jika kita bersatu kawan. jika kamu masih di pondok kapan kita bisa meraihnya sedangkan yang kau pelajari hanyalah masalah agama.” Zidan memandang Rasyid dengan pandangan serius penuh harap.
            “Ayo kuliah bersamaku, kemarin dosenku menawarimu kuliah hanya 6 bulan tanpa biaya, cukup dengan melanjutkan penelitian kita waktu SMA dahulu.” tambah zidan
            “Aku tak bisa kawan, memang dahulu besar inginku untuk kuliah bersamamu, tapi kini seiring berjalannya waktu, aku sadar bahwa pemahamanku tentang Ibnu Sina itu keliru. Aku hanya melihat Ibnu Sina dari hasilnya tanpa melihat perjalanan hidupnya. Aku hanya melihat daun lebat kebesarannya tapi aku lupa akar kuat yang menunjang hidupnnya. Menurut riwayat yang aku baca beliau itu sebelum menjadi ilmuan, terlebih dahulu memperdalam ilmu agama bahkan konon beliau juga hafal Al-Qur’an. Jadi aku sekarang memilih tafaqquh fiddin  dahulu seperti yang dilakukan Ibnu Sina dan ulama-ulama terdahulu.” Jelas Rasyid.
            “Aku tak mengerti jalan pikiranmu sekarang, Syid, bukannya dahulu kita punya mimpi yang sama? bahkan kita pernah berikrar bersama untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Tapi kenapa sekarang kamu memilih mondok di pesantren kuno ini.” Ungkap Zidan berapi-api.
            Rasyid diam menundukkan kepala, seakan kehilangan seribu kata. Dalam benaknya jujur dia sangat bimbang antara kuliah dan mondok, antara mimpi lama dan mimpi barunya.
“Ayolah kawan, kita bersama membangun kembali mimpi kita, melangkah bersama untuk mewujudkan impian kita.”  
            “Maaf kawan aku tetap tak bisa, aku sudah yakin dengan keputusanku. Aku akan tetap di pondok dan akan menjalani hari-hariku sebagai santri. Toh di sini juga ada perpustakaan, aku masih bisa menjelajah dunia lewatnya. Aku akan buktikan bahwa santri itu bisa berkarya walaupun tidak menjalani pendidikan formal seperti orang pada umumnya. Banyak kok orang besar yang menjadi besar tanpa menyelesaikan pendidikan formal seperti Steve Jobs; CEO Apple tidak lulus kuliah, juga Abraham Lincoln; presiden Amerika yang dahulunya hanya penjaga toko.”
            Merasa tidak mendapatkan tujuannya, Zidan langsung berdiri kemudian beranjak pergi begitu saja meninggalkan Rasyid dengan muka penuh sebal, tanpa salam hanya meninggalkan ultimatum keras kepada Rasyid.
            “Jika kau masih menganggapku sebagai sahabatmu maka ikutlah bersamaku!!!”
            Mendengar ultimatum itu Rasyid terdiam seribu bahasa. Seakan tidak percaya sahabat yang pernah merangkai mimpi bersamanya itu marah kepadanya. Sebenarnya ia tak ingin ini terjadi. Ia tak ingin persahabatannya putus begitu saja. Tapi keputusannya untuk mondok tentu tidak akan bisa ia ubah begitu saja. Karena keputusan ini bukan keputusan instan, tapi melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang dan melalui serangkaian istikharah yang ia telah ia lakukan.
Rasyid bingung bukan kepalang, dalam otaknya dipenuhi gambaran sahabatnya dan gambaran kiainya. Perang dingin mulai berkecamuk dalam pikirannya. Tapi itu segera diredamnya dengan melakukan hobinya sejak dahulu yaitu membaca. Baginya membaca bukanlah sekadar hobinya, melainkan sudah menjadi sebuah kewajiban tersendiri dalam kesehariannya. Juga bukan  sekedar menjelajah dunia di meja kecil dengan lembar-lembar lusuh tapi banyak hal luar biasa yang ia dapatkan dari membaca.
****
Hingga malam menjelang, perasaan bimbang itu belum juga hilang. Hatinya belum bisa tenang. Jika biasanya setelah muthola’ah malam Rasyid langsung tidur, malam ini matanya enggan terpejam, sesuatu sedang mengganjal hatinya. Baru setelah beberapa jam ia berusaha menidurkan diri,  ia pun dapat tidur untuk menenangkan diri.
****
“Nak, kesini nak,” Suara parau kiai Nur mengagetkan Rasyid yang sedang menjaga perpustakaan pesantren. Rasyid langsung mendekati Yai dengan tawadhu’
“Ada Apa yai ?”
“Jangan Kau ubah arah jalanmu, hanya gara-gara melihat semua orang berjalan ke arah berlawanan. Berjalan sendirian ke arah tujuanmu yang berlawanan dengan semua orang, jauh lebih baik dari pada berjalan dengan semua orang yang berlawanan dengan tujuanmu.” Kiai langsung meninggalkan Rasyid setelah mengucapkan kalimat tadi.
“Tek…tek..tek..” Irama Pukulan kayu keamanan untuk membangunkan para santri pun telah membangunkan Rasyid dari mimpinya. Matanya langsung terbuka dengan lebar. Ia seperti merasakan apa yang ada di mimpinya itu nyata. Dicubitlah pipinya untuk memastikannya bahwa ini bukanlah mimpi. Tapi memang benar apa yang telah ia alami bersama Kyai Nur itu hanyalah mimpi.
            Tapi ia yakin mimpinya itu bukanlah mimpi sembarang. Karena yang datang dalam mmpinya itu adalah kyai Nur, kyainya sendiri. Dan seakan telah mampu menjawab semua kebimbangan dalam hatinya. Sejak saat itu bertambahlah keyakinannya untuk tetap melanjutkan pendidikan di pesantren.

*(Dimuat di buku "Antologi cerpen wasiat sorban Mbah Yai" Perpustakaan Langitan 2016

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus