Cuaca agak mendung ketika penulis dan seorang rekan hendak melakukan kunjungan sekaligus wawancara di Museum NU Surabaya. Tapi, walaupun begitu kami memutuskan untuk tetap berangkat.
Tak terlalu sulit bagi kami untuk mencari
alamat dari museum tersebut. Karena memang letaknya yang sangat strategis hanya
berjarak sekitar 900 meter arah timur Masjid Agung Surabaya dan bersebelahan
dengan kantor DPW PKNU Jawa Timur.
Dari
kejauhan, bangunan museum dan kantor NU Nampak seperti bangunan bergaya Eropa
yang khas dengan arsitektur yang elegan. Tapi, setelah masuk ke museum kami
merasakan sesuatu yang berbeda dari yang nampak di eksterior bangunan. Kami
disuguhi bermacam benda-benda yang bersejarah yang begitu kental keNU-annya
juga banyak lukisan-lukisan tentang tokoh-tokoh NU yang dilukis oleh KH. Zawawi
Imron.
Museum
ini terdiri dari tiga lantai. Lantai satu dan dua digunakan untuk koleksi
museum, sedangkan lantai tiga adalah perpustakaan dan ruang pertemuan. Di
setiap lantai terdiri dari bebrapa ruangan yang dibedakan sesuai dengan
kategori benda.
Setelah
puas berkeliling museum, kami menyempatkan untuk mewawancarai salah satu
penjaga museum yang telah mengabdi sejak didirikannya museum ini. Yaitu bapak
Zainul.
Diresmikan Dua Kali
Museum
NU kini telah genap berusia 11 tahun sejak didirikannya pada tahun 2004. Jauh
lebih muda memang, daripada organisasi NU sendiri yang jauh sebelum itu telah
berdiri. Dan tentunya, mempunyai nilai historis yang tidak sedikit. Yang melatarbelakangi
pendirian museum ini adalan untuk melestarikan peninggalan-peninggalan
Nahdlatul Ulama.
Pembangunan
museum ini dimulai dari tahun 2003 dan rampung pada tahun 2004 akhir yang
kemudian diresmikan dua kali. Peresmian yang pertama dilakukan oleh Gus Dur.
“Pada
bulan berikutnya yang bersamaan dengan pelaksanaan muktamar NU di Jawa Tengah,
kemudian diresmikan oleh Kiai Sahal Mahfudh,” tutur Pak Zainul.
Kaya Akan Benda Sejarah
Seperti
museum-museum pada umumnya museum NU memiliki koleksi benda sejarah yang sangat
banyak. Seperti dokumen-dokumen penting NU, sampai pakaian-pakaian dan tongkat yang
dipakai oleh K.H. Wahab Hasbullah dan K.H Hasyim Asy’ari pun terdapat di museum
ini. Itu semua merupakan berasal dari masyarakat NU sendiri yang menyimpan
benda sejarah tersebut kemudia dihibahkan ada pihak Museum.
“Pada
tahun 2004 ada tim kolektor, jadi kebanyakan memang koleksi-koleksi ini adalah
milik beberapa personal yang kemudian di hibbahkan kepada Museum Nahdlatul
Ulama yang sudah jadi,” tuturnya saat kami menanyakan tentang asal koleksi yang
terdapat di museum tersebut.
Namun
meskipun begitu, Pak Zainul mengakui adanya keterbatasan dalam pengumpulan
koleksi benda-benda bersejarah NU ini.
“Dan memang kita juga ada keterbatasan, karena
tidak semua orang mau menitipkan atau menghibahkan koleksinya di museum,”
tuturnya.
“Ada
juga sepeda angin dari Madiun dan kitab ambiyo (anbiya, Red) dari
Trenggalek,” lanjutnya.
Untuk
kita ambiyo sendiri, merupakan kitab yang sudah jarang ditemukan. Karena
kitab ini merupakan kitab yang menceritakan 25 nabi yang ditulis dengan
menggunakan huruf arab pegon. Dan kira-kira kitab ini sudah ada sejak
jaman Kerajaan Mataram. kitab ini biasa dibacakan ketika selamatan 7 hari
kelahiran putra raja.
Sayang, sepi Pengunjung
Pada
hari-hari biasa pengunjung museum memang tidak terlalu banyak. Buktinya pada
saat kami berkunjung, kamilah satu-satunya pengunjung museum. Ini memang agak
ironi jika dibandingkan dengan tempat hiburan lainnya yang tentu ramai
pengunjung setiap hari.
Di
akhir wawancara kami mendapatkan semacam oleh-oleh dari bapak Zainul berupa
komik tentang NU untuk disumbangkan pada Perpustakaan Langitan.
*A.
Yazid Fathoni & M. Ridho
0 Komentar