Asa di Lereng Semeru


Kami sampai di Pos Pendakian Semeru; Ranu Pane tepat setelah maghrib. Rombongan kami disambut iringan warga desa sekitar Ranu Pane yang hendak berjamaah di Masjid. Suara pujian khas NU terdengar syahdu. hawa dingin begitu menyeruak. Sangat dingin. Mencapai sekitar 8 derajat celcius. Jaket bulang yang saya kenakan pun masih tembus.

Kami memutuskan untuk shalat jama taqdim terlebih dahulu. Mumpung di Masjid. Nanti kalau sudah mendirikan tenda akan jauh lebih berat. Kami juga belum tahu nanti di lokasi camp apakah fasilitas toilet dan tempat shalat memadai.

Kami bergantian ke toilet dan wudhu, sambil menunggu jamaah warga selesai. Masjid itu tampak ramai. Terlihat hampir ada tiga shaf untuk laki-laki. Sepertinya semua adalah warga lokal, terlihat dari cara berbusananya; jaket sederhana dan sarung. Beberapa diantara mereka sarungnya mereka jadikan sebagai jaket.

Setelah selesai, beberapa warga pun bubar. Beberapa masih berkumpul di bagian belakang Masjid. Saya menyusul teman-teman yang telah bersiap jamaah. 

Ternyata kumpulan warga di belakang adalah halaqah pengajian al-Qur’an. Tampak ada seorang ustaz yang mengajar. Yang diajar cukup banyak ada sekitar 7 orang. sekitar 3 anak kecil dan 4 dewasa. Di seberang kelambu pemisah juga terlihat beberapa perempuan.Saya tidak bisa memastikan jumlahnya tapi cukup banyak.


Selesai shalat saya amati lagi. yang mendapat giliran membaca adalah anak kecil. Sedang yang lain bersiap. Membaca bagian yang hendak dibaca di hadapan sang ustaz. Saya agak terkejut melihat pemandangan ini. Pemandangan yang sudah jarang saya jumpai. 

Jarang sekali saya melihat pengajian quran yang isinya adalah orang dewasa. Begitu semangat orang pegunungan untuk belajar al-Qur’an. Mereka tidak malu untuk memulai. Saya tidak bisa membayangkan jika saya berada aau memulai belajar dari umur sekian. Bisa saja saya akan malu atau bagaimana. Tapi orang lereng semeru ini beda. 

Saya membayangkan betapa capeknya mereka. Saya yakin ketika siang mereka pasti di sawah, yang lokasinya di lereng-lereng. Saya tidak melihat anak-anak muda nongkrong di warung kopi.

Saya potret dengan kamera hape, sambil menyapa dan meminta izin. Ingin sekali saya mengobrol dengan mereka. Maka, setelah shalat dan beberapa teman sudah ke basecamp. Sengaja saya menunggu terlebih dahulu. Kebetulan satu teman juga BAB di toilet. Sekalian pikir saya. Saya pun memutuskan menunggu.

Masjid di ddepan kawasasan Ranu Pane


Saya amati dari kejauhan. Sambil mendengarkan bacaan mereka. Pengajian itu begitu sederhana. Sesederhana saya yang begitu bahagia hanya dengan melihat mereka.

Cukup lama saya menunggu pengajian itu bubar. Berharap mendapat kesempatan mengobrol dengan salah satu diantara mereka. Saya penasaran sekali bagaimana keseharian  mereka. Bagaimana, di daerah yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan, masih terdapat asa untuk belajar dasar agama.

Namun hingga beberapa waktu saya menunggu pengajian itu belum juga usai. Sedangkan teman saya sudah selesai dari kamar mandi. Ia pun mengisyaratkan untuk menyusul teman-teman mendirikan tenda. Agak kecewa sebenarnya. Belum bisa mengeksplor dan mengobrol dengan mereka. Tapi saya segera tersadar, tidak semua pelajaran harus diperoleh dari sebuah obrolan. Padahal apa yang mereka lakukan sudah lebih dari sebuah pengajaran.



Posting Komentar

0 Komentar