Kebetulan yang Tidak Benar-Benar Kebetulan


Hingga titik ini, saya selalu mempercayai, dalam usaha saya menelusuri dan menulis tentang kronik sejarah dan warisan para leluhur, saya yakin, saya tidak berjalan sendirian.

Dalam bahasa spiritual -kalau tidak dibilang berlebihan- saya serasa dituntun.  Walau dalam realitanya saya lebih sering sendiri ketika sedang keluar kota mengunjungi tempat dan menemui narasumber. 

Kepingan informasi yang saya dapat, pertemuan saya dengan orang-orang terkait, hampir semuanya tidak pernah saya rencanakan. Tiba-tiba saja dan kebetulan. Kejadian seperti itu saya alami berkali-kali. Sudah seperti menjadi pola acak dalam setiap puzzle informasi yang sedang saya telusuri. 

Tapi di sisi lain saya juga yakin, bahwa itu bukanlah benar-benar kebetulan. Karena niat dan tujuan baik kita untuk mengeluarkan fakta sejarah yang telah lama terpendam akan mendapat jalan yang terbaik pula. 

Saya juga yakin para masyayikh, leluhur-leluhur kita saat ini pada hakikatnya pun menyaksikan apa yang saya dan teman-teman usahakan. 

Seperti dalam perjalanan saya ke Ndresmo Surabaya ini, seratus persen pertemuan dan ziarah ini sama sekali tidak saya rencanakan. Tujuan saya ke Surabaya hanya untuk sowan beberapa keperluan di KH. Miftakhul Akhyar. Tidak ada sama sekali rencana agenda berkunjung ke Sidoresmo. Rencana awal, Jumat sore (06/01/23) sowan, malamnya kembali ke pondok. Ndilalah kok pada Jumat sore itu beliau masih sayah, sehingga belum bisa untuk disowani. Akhirnya mau tidak mau saya harus menginap menunggu jadwal ngaji keeesokan harinya. 

Malamnya saya sengaja mencari makan di Mak Yeye, sekedar meneruskan lelaku saya ketika ketika sedang berkunjung ke sebuah kota yakni mencoba makanan khas. Saya menyebutnya #korbanreview. 

Dalam perjalanan dari Kos Teman menuju Mak Yeye ternyata saya melewati komplek perkampungan Sidoresmo. 

“Oalah disini ta lokasi Ndresmo itu” batin saya

Sudah lama sekali saya punya keinginan untuk ke Sidoresmo. Kenapa saya begitu ingin kesini? Jawabannya adalah barang tentu adalah saking banyaknya saya menemukan informasi di manuskrip yang menyebut nama kampung Ndresmo ini. Di Ndresmo sendiri dulu KH. Ahmad Sholeh (Pengasuh PP. Langitan ke-2) pernah berguru kepada KH. Mas Abdul Qohhar. Data terakhir dan terupdate saya juga pernah menemukan nama Ndresmo di manuskrip koleksi Mbah Hajir di Padangan. 

Karena sudah malam saya hanya mbatin, kapan-kapan saya harus kesini paling tidak ziarah atau kalau memungkinkan ya sowan ke beberapa dzurriyah sini untuk menggali informasi yang saya butuhkan. Malam itu akhirnya saya hanya berkirim fatihah sambil melaju diatas Supra Totok getar andalan.

Keesokan harinya, ndilalah saya ditakdirkan tidak ketemu beliau lagi. Saya bangun agak kesiangan jadi tidak menangi waktu pengajian pagi beliau. Jadwal sowan pun harus ditunda sore hari.

“Kayaknya memang aku kudu Sowan Ndresmo ini” 

Bahasa kasarnya, masak ke Surabaya dan sudah kenal dan berinteraksi dengan KH. Mas Abdul Qohar di manuskrip-manuskrip tapi tidak sowan. Mbok sangat kebangeten. Saya pun menghubungi kakak kelas saya yang juga dzurriyah Ndresmo. Tapi ia kebetulan tidak sedang dirumah. Saya pun dihubungkan dengan salah seorang pamannya.

Kedatangan saya di kampung ini disambut oleh Kiai Mas Uzair Basyaiban, salah seorang dzurriyah Sayyid Ali Asghor yang kebetulan juga pernah nyantri di Langitan.



Sebenarnya saya belum pernah bertemu dengan beliau. Saya persis, hanya bermodalkan niat baik. Saya ingin berziarah, menyambung kembali hubungan dengan keturunan dari guru KH. Ahmad Sholeh Langitan.

Baru sejenak duduk di sebuah rumah sederhana, kediaman Mas Uzair. Beliau sudah banyak mengeluarkan bergam kisah masa lalu dan berbagai khazanah sejarah di Tanah Ndresmo ini. Utamanya terkait Sayyid Ali-Asghor dan keturunannya dari. Berbagai informasi yang sebelumnya tidak saya ketahui pun terceritakan melalui obrolan-obrolan ringan yang tak terencana.

Sebagai informasi, mungkin bagi yang tidak tahu apa yang spesial di Ndresmo. Perkampungan ini bernama Sidoresmo atau Sidosermo. Atau terkadang masyarakat lebih familiar dengan sebutan Ndresmo. 

Di komplek perkampungan ini dulunya merupakan daerah tempat Sayyid Ali Akbar dan Sayyid Ali Asghor menyebarkan Islam. Sayyid Ali Asghor merupakan cucu dari Sayyid Sulaiman Betek Mojoagung, Jombang. Kalau dirunut ke atas nasabnya nanti akan bersambung hingga Sayyid Abdurrahman Basyaiban hingga Rasulullah.

Kampung ini bisa dibilang kampung habib, karena mayoritas penduduk sekitar merupakan keturunan dari Sayyid Ali Asghor Basyaiban. Namun yang membedakan, habib di daerah ini sama sekali tidak ‘tampak’ habibnya. Kalau dalam bahasanya “wes njowo”. Dari segi perawakan hampir sudah seperti orang jawa. Panggilan kehormatan disini juga bukan Habib, melainkan “Mas”.

Semenjak zaman Sayyid Ali Asghor Kampung Ndresmo ini sudah menjadi episentrum keilmuan di daerah Surabaya. Dari namanya sendiri “Ndresmo” konon berasal dari kata “Nderes limo” yang berarti ada lima santri yang senantiasa “nderes” atau mengaji.Hingga saat ini pun perkampungan ini masih ramai dengan para santri. 

Setelah lama mengobrol di kediaman Mas Kiai Uzair, saya diajak sowan ke rumah Mas Kiai Muzammil yang merupakan keturunan langsung dari KH. Mas Abdul Qohhar. Sosok yang ingin saya gali informasinya.

Setelah saya utarakan keresan dan tujuan saya ke Ndresmo, Mas Zamil tampak sangat antusias.

“Iya mas, saya juga kadang aneh. Di internet banyak sekali informasi seng bingungne, masak KH. Sholeh Langitan di Ndresmo berguru kepada KH. Abdul Qodir. Padahal tidak ada nama Abdul Qodir di Ndresmo” ungkapnya

Ternyata Mas Kiai Muzammil pun punya keresahan yang sama.

“Disitu juga ditulis PP. An-Najiyah, padahal dulu pada masa Mbah Sholeh Ndresmo masih jadi satu kesatuan. Tidak ada nama pondoknya, tokoh kiainya era itu ya cuma KH. Mas Abdul Qohar” 

Memang saya juga sudah pernah riset di internet tidak banyak data yang bisa saya kumpulan di internet terkait sosok KH. Mas Abdul Qohhar sendiri. Entah karena memang masih minim catatan terkait beliau atau faktor lain. Padahal jika melihat sosoknya beliau merupakan ulama besar yang sangat disegani di paruh abad 19.

Akan tetapi satu hal yang pasti, dari sekian manuskrip itu rata-rata adalah kitab tasawuf. Di Langitan manuskrip yang menyebut nama KH. Mas Abdul Qohar adalah manuskrip Bidayat al-Hidayah al-Ghazali dan Minhajul Abidin. Sedangkan di Padangan manuskrip yang menyebut Ndresmo adalah Kitab Hikam Ibnu Athaillah as-Sakandari dan Minhajul Abidin.’Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa Ndresmo pada saat itu merupakan pesantren yang concern dan terkenal membidangi bidang tasawuf. 

Memang kebiasaan pesantren dahulu adalah spesifikasi keilmuan. Jadi setiap pesantren memiliki ciri khas dan fokus pendidikan sesuai dengan kapasitas dan keahlian kiai pengasuhnya. Misalkan dulu orang kalau ingin mondok dengan spesifikasi ilmu hadis, maka ia akan memilih Tebuireng mengingat KH. Hasyim Asyari sangat kompeten di bidang Hadis. Atau kalau dalam bidang nahwu dan gramatika Arab orang akan menuju di Kasingan Rembang di bawah asuhan KH. Kholil bin Harun yang dikenal sebagai Imam Sibawaihnya Jawa. 

Dalam obrolan itu baru saya ketahu banyak sekali informasi penting yang bisa menjadi bahan awal untuk penelusuran lebih lanjut. Diantaranya ketika di mekkah Mbah Abdul Qahhar pernah berguru kepas Syekh Abu Bakar Syatho.

“Mbah Abdul Qahhar itu konon, merupakan salah satu yang mempopulerkan kitab Ianat al-Tholibin karya Syekh Abi Bakr Syatho”

“Apakah ada manuskripnya yi?” saya coba menanyakan

“Waah sementara tidak ada, tapi nanti coba saya carikan”

Akan tetapi sayang, saya tidak bisa berlama-lama disana. Jadwal sowan di Kedung Tarukan sudah menanti. Saya pun menyempatkan sejenak untuk berziarah di Makam Mbah Abdul Qahhar dan mengunjungi kamar napak tilas yang dulu menjadi kamar KH. Ahmad Sholeh. 



Pertemuan ini memang sangat singkat dan tidak direncanakan. Tapi semoga pertemuan ini bisa menjadi awal yang memantik terungkapnya informasi-informasi sejarah, khususnya hubungan antara Langitan dan Ndresmo. Semoga saya juga selalu diberi kekuatan dan pertolongan oleh Allah untuk terus menulis terkait hal ini.

Dalam sebuah manuskrip warisan dari Mbah saya, terdapat sebuah pesan yang hingga saat ini menjadi pelecut saya untuk menekuni urusan ini.

من أحيا ذكر العالم عاش سعيدا

“Barang siapa yang hidupnya didedikasikan untuk menghidupkan orang alim, kelak dia akan hidup dengan dipenuhi keberuntungan” 


Posting Komentar

2 Komentar