Kopdar yang Sesungguhnya

Hal yang paling penting dari sebuah acara kopdarnas adalah kopdar itu sendiri. “Kopdarnas yang asli itu ya begini, Mas. Ngobrol dan sharing, bukan acara seremonial di sebelah” ujar Mas Bardan sambil tertawa.

Kemarin, mulai hari Jumat (2/12/22) hingga Ahad saya mengikuti rangkaian acara Kopdarnas AIS Nusantara di PP. Maslakul Huda Pati, Jawa Tengah. Saya berangkat dari pondok bersama seorang teman dari Langitan dan Mas Rou, Ketua Media Pondok Jawa Timur. 

Dalam acara tersebut, beruntung sekali saya bisa bertemu dan berbagi pengalaman dengan pegiat media dan influencer santri dari seluruh nusantara. Saya banyak berkenalan dengan orang baru dan mengais ilmu dan pengalaman mereka. Tak jarang obrolan-obrolan kita terasa asyik dan lama bahkan tak jarang harus melipir dari acara resmi kopdarnas untuk menyelesaikannya.

Diantara salah satu pertemuan yang paling berkesan adalah obrolan dengan Mas Bardan. Saya dan beberapa pengurus Media Pondok Jawa Timur sharing dan ngobrol dengan mas Bardan tepat ketika acara Closing Ceremony Kopdarnas AIS Nusantara di tenant bazar milik NU Garis Lucu. Agak liar sebenarnya, tapi gak papa. Karena toh inti dari kopdarnas ya ngobrol-ngobrol begini kan ya. Tidak ada salahnya kan. Yang acara resmi biar teman-teman yang lain saja hehehe.

Mas Bardan sendiri adalah salah seorang supervisor di Gramedia Yogyakarta. Sebenarnya pertemuan itu sama sekali tidak direncanakan. Semenjak awal saya datang di acara kopdarnas ini agak tertarik dengan adanya gramedia sebagai salah satu sponsor acara. Sangat menarik. Pikir saya waktu itu. Karena Gramedia adalah salah satu perusahaan besar di bidang industri buku. Kok bisa AIS menggandeng Gramedia untuk hajatan tahunannya. Lagipula kegiatan ini digelar di sebuah pesantren. Sedekat itukah Gramedia dengan pesantren?

Nah hadirnya gramedia di acara kopdarnas AIS ini kemudian menguatkan keinginan saya untuk tahu lebih jauh, terkait Gramedia dan misinya ke pesantren. Beberapa teman MPJ juga tertarik untuk mengajak kolaborasi Gramedia dalam Festival Media Pondok JAtim yang akan digelar akhir Desember besok di Pacet, Mojokerto. 

Mas Bardan lah sosok motorik yang menggerakkan Gramedia hadir dalam kegiatan-kegiatannya pesantren. Sudah banyak sekali event-event gramedia yang berkolaborasi dengan pesantren. Bahkan ternyata Gramedia sendiri sudah pernah bekerja sama dengan Pondok Kajen Pati sudah tiga kali ini. pertengahan Desember mereka juga akan mengadakan event di Pondok Sunan Pandanaran Yogyakarta. 

Mas Bardan sendiri bercerita. Sebagai pegawai yang pernah bercita-cita menjadi santri. Dia mempunyai keinginan besar untuk membuat Gramedia dekat dengan pesantren. Dia ingin  membuktikan kepada para pimpinan Gramedia bahwa kaum pesantren juga bisa berperan dalam dunia literasi. Hal tersebut ia buktikan dengan getolnya ia mengadakan event-event yang menggandeng pesantren.

Saya sendiri agak terkejut mendengar penjelasan mas Bardan. Karena selama ini yang saya tahu Gramedia sendiri atau lebih tepatnya Kompas (awalnya) didirikan oleh  pak PK. Ojong dan Jakoeb Oetama yang non-muslim. Dan Jarang sekali saya mendengar Gramedia mulai mempunyai perhatian kepada pesantren.   

“Bisa dibilang lak jenengan secara tidak langsung adalah Gusnya Gramedia mas?” tanya saya. Pertanyaan saya kemudian dibalas dengan tertawa lepas dari Mas Bardan

“Oh iya tentu, saya ini pengasuh pesantren Gramedia hehe”

Kisahnya hingga sampai pada titik ini pun sangat heroik. Sudah lama sekali ia mempunyai keinginan untuk mondok, akan tetapi hingga ia masuk dunia kerja ia belum punya kesempatan untuk masuk pesantren. 

Ketika lulus SD sudah mempunyai keinginan besar untuk meneruskan di pesantren. Sudah yakin betul dengan pilihannya. Akan tetapi karena ia merupakan sosok bintang kelas di sekolahnya. Ia diboti oleh guru-gurunya untuk menunda kinginannya mondok. Bahkan guru dan kepala sekolahnya itu sampai datang ke rumah mas Bardan untuk membujuk orang tuanya. Pihak sekolah memandang, eman-eman kalau kepintaran Mas Bardan tidak difasilitasi dengan sekolah fasilitas yang bagus. Padahal sejatinya ada motif lain yang mendorong pihak sekolah memaksa mas Bardan masuk sekolah SMP RSBI di Cirebon. Menurutnya pihak sekolah ingin dirinya masuk RSBI adalah untuk mengangkat nama sekolahnya itu sendiri, bahwa salah satu alumnusnya ada yang diterima di sekolah RSBI.

Selepas SMP, Mas Bardan kemudian lanjut di SMK. Tak lama ia ingin daftar kuliah di Bandung. Tapi sang ayah menolak keinginannya itu. Sang ayah ingin sanga anak tetap di Cirebon dan ikut mengaji di sekitar cirebon. 

Pada akhirnya keinginan untuk masuk pesantren yang ia cita-citakan tidak pernah tercapai. Makanya ketika ia sudah mempunyai otoritas di Gramedia, ia pun memperjuangkan keinginan lamanya itu. Ia masuki pesantren satu ke pesantren lain. Menawarkan kerja sama. Mengadakan event. Membuat bazar. Mencari naskah dari pesantren dan berbagai hal lainnya. 

Itu semua ia lakukan demi dedikasinya untuk pesantren. “Karena semenjak dahulu saya sangat ingin masuk pesantren” ujarnya.

Saya sendiri sangat terenyuh dengan perjuangan dan pengabdian mas Bardan untuk pesantren. Saya yang orang pesantren sendiri belum mempunyai andil sebesar itu untuk memperjuangkan kepentingan pesantren. Selama ini saya mungkin hanya menjadi penikmat hasil perjuangan mereka. Bahkan seringkali saya hanya numpang eksis dengan label santri. Duh malu sekali.


Posting Komentar

0 Komentar