Muhammadiyah, Bapak, dan Novel “Kambing dan Hujan”

Melihat status Mas Mahfud Ikhwan yang berkisah #KisahMenujuMuktamar saya jadi ingin menulis juga kisah kenangan saya dengan bapak yang Muhammadiyah. saya punya kenangan sendiri jika ingat Bapak, Muhammadiyah dan mas Mahfud Ikhwan. Pasalnya, bapak sendiri memang Muhammadiyah dan ketika masa-masa akhir saya bisa membersamai bapak di rumah sakit, buku yang menemani saya adalah Roman Kambing dan Hujannya Mas Mahfudz Ikhwan.

Muhammadiyah, Bapak dan Novel Kambing dan Hujan. Ketiganya bagi saya mempunyai hubungan dan korelasi yang sangat kuat. Ketiganya sama-sama punya peran dalam membentuk mindset dan pola pikir saya. Ketiganya memberikan sumbangan perspektif bagi saya untuk melihat Muhammadiyah secara utuh.

Kalau bapak sudah barang tentu Muhammadiyah tulen. Bapak juga termasuk sosok aktivis di organisasi itu. Kalau untuk novel Kambing dan Hujan saya masih ingat betul, saya membaca itu ketika sedang menunggui bapak yang sudah koma di rumah sakit. Sebenarnya bukan koma sih, semua sistem vital tubuh bapak masih berfungsi, akan tetapi memang syaraf-syaraf tubuh bapak tidak berfungsi sehingga bapak sama sekali tidak bisa bergerak. Hanya tidur saja. Bapak masuk rumah sakit tepat di Hari Jumat. 

untuk mengisi waktu luang saya iseng membaca Novel Mas Mahfud Ikhwan berjudul Kambing dan Hujan di aplikasi Ipusnas. Kadang saya baca di kamar kadang di ruang tunggu. Sebenarnya novel ini sudah menjadi wishlist saya sejak lama, tapi belum sempat kebeli dan membaca. Sambil terus memantau perkembangan bapak, saya kemudian membaca novel itu dengan seksama. Itung-itung mengisi waktu luang.

Dari Novel itu, saya seakan dibawa kembali untuk menemui bapak semasa mudanya. Walaupun bapak masih belum sadar, saya seakan kembali bertemu dan menyaksikan bapak. Hal itu lantas membuat saya merenung, mengingat kembali bagaimana hubungan dan teladan bapak di keluarga. Bagaimana tidak, latar dan penokohan kisah dalam novel tersebut hampir sama dengan latar kehidupan bapak dan keluarga saya.

Bagi yang belum pernah membaca Novel tersebut, secara umum novel tersebut berkisah tentang titik persinggungan antara dua kultur keagamaan di Indonesia; NU dan Muhammadiyah. Konfilk tersebut dibungkus dengan kisah cinta antara Mif dan Fauzia. Mif sebagai representasi golongan keluarga Muhammadiyah, dan Fauzia yang merupakan putri dari seorang tokoh NU. Latar novel tersebut juga terasa sangat dekat, di Brondong Lamongan yang secara historis merupakan salah satu basis pengkaderan Muhammadiyah.

Ketika awal membaca tersebut, sebenarnya saya agak kurang ngeh. Karena persinggungan muhammadiyah dan Nu di keluarga saya nyaris terbilang tidak ada. Di lingkungan sekitar saya komunitas Muhammadiyah dan NU pun secara umum terlihat agak tegang. Namun saya belum pernah melihat secara langsung satu ketegangan yang berarti. Artinya ya keduanya ya berjalan masing-masing secara beriringan.

Namun, Setelah membaca novel itu saya baru mengetahui bahwa NU dan Muhammadiyah (secara kultural tentunya) pernah seberjarak itu. Tapi dari situ saya bersyukur, walaupun saya adalah anak yang lahir dari dua kultur berbeda. Akan tetapi, berkat kearifan bapak dan  ibu. Saya tidak pernah merasakan itu. Jadi saya sangat bersyukur. Saya sama sekali tidak merasakan apa yang menjadi akar konflik di Novel “Kambing dan Hujan’ nya Mas Mahfud Ikhwan. 

Akan tetapi dari situ saya justru bisa memahami bahwa Perbedaan apapun akan tetap bisa melebur jika ada kemauan.

Saya tumbuh dan lahir di lingkungan yang bisa dibilang kental dengan nuansa NU tradisional.  Banyak sekali tokoh dan pemuka agama di tempat saya. Institusi pendidikan Islam pun banyak. TPQ, Mushola, Pesantren pun tak jauh dari rumah saya. 

Saya lahir dari Ibu yang NU Tulen dan seorang bapak Muhammadiyah. Tapi secara kultural saya lebih dekat dengan NU. Bisa dibilang penduduk mUhammadiyah di desa saya relatif kecil, minoritas. Bapak saya kebetulan adalah seorang yang Muhammadiyah. 

Pada waktu kecil saya sering bertanya, kenapa bapak berbeda. Jika anak kecil seumuran saya ketika Jumatan dengan bapaknya, saya tidak. Jika anak-anak kecil sebaya saya berangkat digandeng bapaknya ketika lebaran, saya justru harus berpisah di pertigaan. Bapak lurus ke Lapangan sedangkan saya dan kakakbelok menuju masjid di depan Kecamatan. Sewaktu kecil pertanyaan-pertanyaan itu selalu berkeliaran. Tapi namanya anak kecil, saya tidak terlalu banyak memikirkan itu. 

Sampai pada akhirnya, ketika saya sudah mengenal apa itu arti ormas keagamaan di bangku TPQ dan sekolah saya baru bisa memahami, ternyata bapak mempunyai pilihan 
Dan saya menyaksikan sendiri walaupun bapak adalah satu-satunya orang yang mempunyai warna berbda. Akan tetapi saya tidak pernah menyaksikan ada banyak pertikaian ataupun perbedaan pendapat dalam masalah keagamaan. Kalau waktunya Jumatan bapak ya ke Masjid Muhammadiyah. 

Kalau Subuh, bapak memimpin sholat menjadi Imam ya tidak membaca qunut. Saya dan ibuk yang makmum juga tidak qunut. Ketika ada tetangga yang hajatan tahlilan, bapak juga masih ikut. Memang pada awal-awal masa pernikahan ibuk dengan bapak, menurut cerita ibu bapak masih agak berjarak dengan kegiatan semacam itu. Akan tetapi lambat laiun bapak akhirnya bisa memahami dan ikut membaur dengan masyarakat dan tetangga sekitar. Bahkan menjelang wafat, dengan ingatan yang menurun. Bapak seringkali meminta saya untuk menuntun membaca shalawat. 

Posting Komentar

0 Komentar