Perjalanan Sporadis

Penulis, Dr. Halimi Zuhdy, Asmoro Dika 

Jujur saya termasuk golongan orang yang ketika melakukan apapun cenderung sporadis. Random. Tak beraturan. Tak punya pakem pasti. Dan untuk itu saya biasanya tak banyak melakukan persiapan jauh-jauh hari akan suatu hal.

.

Orang boleh mencibir saya apapun. Mengatakan apa yang saya yakini salah. Monggo. Namun saya meyakini satu hal. Bahwa kecenderungan saya melakukan sesuatu secara sporadis punya alasan. Tentu alasan ini saya buat sendiri. Oleh karena itu, tentu pilihan dan sikap saya punya konsekuensi dan tanggung jawab yang mesti saya tanggung sendiri.

 .

Dengan melakukan sesuatu secara sporadis, menuntun saya terbiasa memecahkan dan memutuskan suatu masalah di tengah-tengah perjalanan atau permasalahan. 

.

Melakukan hal secara sporadis mempunyai seni tersendiri. Dan tentu tidak semua hal saya lakukan secara sporadis. Tetap ada hal-hal tertentu yang saya lakukan secara teratuur dan persiapan. 

Namun dalam hal tertentu, perjalanan misalkan saya terbiasa menggunakan pola ini. Denganya pula perjalanan saya akan lebih fleksibel. Tidak berkejaran dengan waktu. 

.

Saya jadi tidak banyak terpaku dengan aturan aturan beku di awal. Namun disisi lain saya harus menyiapkan waktu yang lebih panjang. Setidaknya harus ada 2-3 hari yang free setelah jadwal yang ditentukan untuk mengantisipasi molornya perjalanan. 

.

Oh ya saya menggunakan istilah sporadis ini merujuk dari istilah dalam sepakbola. -Serangan sporadis- artinya serangan yang tidak terencana, spontan dan cenderung tidak berpola. Seperti permainan Persela.

Dalam KBBI sendiri sporadis bermakna /spo·ra·dis/ a 1 Bio keadaan penyebaran tumbuhan atau penyakit di suatu daerah yang tidak merata dan hanya dijumpai di sana sini; 2 tidak tentu; kadang kala; kadang-kadang:

.

Saya tidak tahu apakah istilah ini cocok atau tidak, tapi saya suka jadi ya anggap saja cocok ya wkwkw.

.

Saya langsung bercerita saja. 

.

Untuk perjalanan misalkan. Kemarin saya ke Malang. Saya tidak mempersiapkan secara detail, setiap titik yang harus saya kunjungi dengan perincian perjalanannya. Nanti bertemu si A harus naik ini pukul sekian, lalu menginap di tempat si B. Nanti kalau ketemu si A.

.

Tidak.

.

Saya ke Malang kemarin persis hanya berbekal dua tujuan pasti. Pertama, menemui alumni pesantren yang mempunyai tugas mengajar di salah satu kampus di Malang. Kedua, menemui dzuriyah salah satu kiai di daerah Singosari, Malang. 

.

Selebihnya, saya memikirkannya di jalan. Pada intinya saya ingin menambah pengalaman di bidang apapun. Dengan siapapun. Sehingga saya tidak membatasi jika ternyata di tengah perjalanan itu saya harus berhenti dan ada agenda lain. Yang penting tidak mengganggu agenda perjalanan utama saya.

.

Percaya atau tidak, untuk tujuan yang kedua saya belum ada channel atau menghubungi beliau terlebih dahulu. Persis kosongan. Saya selalu percaya, tujuan yang baik akan selalu dipermudah jalannya. Saya memegang betul kalimat itu.

.

Dan sampai Malang pun saya masih belum tahu harus menghubungi siapa. Tapi biasanya, menemui kiai bukanlah hal yang sulit. Karena toh sebagian besar kegiatannya dihabiskan di pesantren.

.

Tapi masalahnya, beliau ini termasuk tokoh yang punya jadwal luar yang padat. KH. Luthfi Basori anda tahu sendiri bagaimana jadwal beliau di luar. Tapi ya itu saya selalu percaya prinsip tadi. Selalu ada jalan untuk perjalanan dan tujuan yang baik.

.

Persis Jumat pagi saya sudah sampai di Kota Malang. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam dari stasiun Waru. Oh ya saya berangkat ke Malang tengah malam.Tepat setelah saya mengikuti acara haul Kauman. Jadi tengah malam saya naik Bus dari Babat ke Bungurasih. Lantas setelah Subuh, pagi-pagi buta saya langsung naik Bus dari stasiun Waru yang tidak jauh dari terminal Bungurasih. 

.

Jam 9  tepat, sesuai waktu yang saya janjikan saya sudah sampai di kediaman Dr. Faizin, salah satu alumni pesantren saya yang menjadi pengajar di beberapa universitas di Malang. Setelah itu, tujuan saya selanjutnya adalah sowan KH. Luthfi Bashori di Singosari.

.

Seperti sudah saya katakan di awal. Saya belum punya orang dalam, untuk kesana. Sambil berpikir, saya mencari pinjaman sepeda terlebih dahulu untuk memudahkan perjalanan saya ke sana. Tak sulit sebenarnya mencari pinjaman sepeda di Kota Malang, banyak teman yang masih berkenan saya repotkan untuk meminjamkan sepedanya.

.

Saya kontak beberapa teman untuk bertemu di warung kopi daerah Taman Merjo. Sekaligus saya juga ingin bertemu mereka. Sudah cukup lama saya tidak mengobrol dengan mereka. Persis semenjak pandemi, kami sudah jarang sekali ketemu. Di rumah saja jarang apalagi disini. 

.

Setelah Jumatan, saya masih belum ada channel orang dalam untuk sowan. Saya putuskan untuk langsung sowan on the spot saja tanpa janjian nanti agak sorean. Biasanya kiai setelah maghrib mudah ditemui.

.

Setelah jumatan saya sempatkan juga menemui mbak sekjen Media Pondok Jatim mengantarkan pesanan buku yang sudah ia pesan sejak lama. Saya  menemui di Garenthouse cafe, sekaligus pertemuan itu saya manfaatkan untuk mencari kontak beliau. Toh teman saya ini juga admin media pondok di malang yang mungkin punya banyak relasi pondok-pondok sekitar Malang. Benar saja, dari pertemuan yang tidak terencana itu saya mendapatkan kontak gus As’ad.

.

Langsung saya wa saja beliau. Dan ndilalah alhamdulillah saja saya kemudian disuruh langsung WA KH. Luthfi Bashori dan KH. Abdullah Murtadlo memastikan jadwal yang kosong.  Dari situ saya baru sadar, untuk menemui dua kiai tersebut saya harus membuat janji.

.

Agak ragu sebenarnya mengirim pesan wa kepada kiai. Itu sangat jauh dari etika dan budaya di lingkungan saya. Akan tetapi apa boleh buat, saya beranikan diri mengirim wa kepada kedua kiai tersebut. 

.

Alhamdulillah, KH. Luthfi Bashori memberi jawaban melegakan.

.

“Klo ketemu saya saja, nanti saya beri tulisan ttg biografi Abah Bashori, gimana?”

.

“Nggih ndereaken yai” buru-buru saya membalasnya

.

“Bakdal isyak langsung saya tunggu. Malam jam kebetulan saya panggil tukang pijat.”

.

Untuk KH. Abdullah Murtadlo beliau memberi kepastian Hari Senin siang hingga sore. Artinya masih tiga hari lagi. Saya punya pilihan untuk pulang terlebih dahulu atau tetap stay di Malang sembari menunggu jadwal sowan beliau.

.

Dan dengan pola sporadis ini, saya sudah berkali-kali membuktikan keasyikan dan kehebatannya. Bayangkan jika saya tetap pada keputusan awal, langsung sowan on the spot ketika maghrib saya pasti tidak akan ditemui oleh beliau. Akan tetapi berkah jadwal yang sporadis tadi, saya yang menyempatkan bertemu teman yang juga admin di salah satu pondok di Malang saya mendapatkan jalan itu.

.

Berkat perjalanan sporadis tanpa rencana saya kemudian punya waktu banyak untuk berkeliling Kota Malang. Saya jadi punya kesempatan bertemu mas Fathul Pranatapraja, salah satu penulis yang pernah saya datangkan mengisi seminar kepenulisan di pondok beberapa waktu lalu. Saya juga bisa bertemu banyak sekali budayawan nahdliyin Malang di Mabes LESBUMI PCNU Malang dan ngobrol ngalor ngidul sampek subuh. 

.

Dengan rambut saya yang sudah agak lumayan panjang, saya menjadi sedikit pede berkumpul dengan mereka hehehe. Kebetulan waktu itu mereka juga ada acara pembacaan serat Sapta Wirakrama di Kedai PWK. 

.

Dengan perjalanan tanpa rencana itu saya berkesempatan mondok eh menginap di Pondok Darun Nun, salah satu pondok mahasiswa di Malang yang fokus mengembangkan kegiatan literasi. Saya juga berkesempata  sowan kepada bapak pengasuh Dr. Halimi Zuhdy dan bertukar gagasan terkait literasi di pesantren.

.

Dengan perjalanan tanpa rencana itu pula saya berkesempatan, ikut tidur disamping rapat anak pergerakan PMII di sebuah kafe wkwkw. Yang situ membahas pergerakan, saya asyik bergerak dalam impian. 

.

Dan masih banyak lagi sebenarnya. Pada intinya saya sangat bersyukur dengan apa yang telah Allah rencanakan dalam perjalanan saya. Saya sangat bersyukur bisa bertemu banyak orang hebat di setiap perjalanan saya.


Posting Komentar

0 Komentar