Salah seorang pria agak tua menyapa kami. Dia tampak santai. Ia hanya mengenakan kaos oblong. Merek indomaret mungkin. Celananya pendek. Dari kejauhan mata saya menangkap rokoknya surya. Hisapannya dalam. Tampak sedang melepas penat. Namun wajahnya cerah. Bahagia.
“Dari pondok pak” jawab saya.
.
Malam itu kami berlima sengaja nongkrong di sela-sela kesibukan kami. Kami memang satu pondok. Namun punya tugas masing-masing. Salah satu diantara kami sudah ada yang punya jam mengajar di luar. Ada yang menjadi staf di kantor pusat pondok.
.
Sebenarnya membuat jadwal nongkrong tidaklah sulit. Semuanya tidak sibuk-sibuk amat. Setiap hari pun pasti banyak waktu luang. Akan tetapi menemukan waktu luang yang bersamaan adalah hal yang lumayan sulit.
.
Dan sengaja malam itu, kami bersepakat memilih Kopi Tebing sebagai tempatnya. Karena, memang sudah sangat lama saya tidak berkunjung kesana. Mungkin ada beberapa bulan. Kopi Tebing adalah kafe yang bisa dibilang ramai untuk kawasan Babat.
.
Lokasinya strategis. Dekat dengan pusat Babat dan relatif dekat untuk dijangkau wilayah-wilayah desa sekitar yang ingin ngopi sedikit ‘berkelas’ di sekitar Babat. Kopi Tebing juga punya kelebihan lain. Setiap hari ada live akustik. Tempatnya juga luas. Sangat nyaman untuk sekedar berkumpul ramai-ramai. Tanpa khawatir mengganggu pengunjung lain.
.
Saya kaget. Sesampainya disana, jalan yang biasa menjadi akses menuju lokasi kafe diportal. Sama sekali tidak ada celah. Tapi dari kejauhan kopi Tebing nampak buka. Sangat ramai. Akustiknya pun terdengar di lokasi portal tempat saya berhenti.
.
Ternyata memang sekarang jalan dialihkan. Agak sedikit ke Selatan dan sedikit memutar. Melewati sekitar 500 meter areal persawahan warga. Jalannya nampak baru dibangun. Belum beraspal ataupun dicor. Jalan itu dibuat dari katel yang diratakan. Tampak hanya sementara. Dan akan direhab lagi. Mungkin.
.
Di sepanjang jalan persawahan itu dipasang lampu warna-warni yang indah. Sangat instagramable kalok kata anak muda sekarang..
.
“Kayaknya ini Kopi Tebing sedang scale up usahanya, dibuatkan jalan masuk baru yang layak. Agar parkirnya juga lebih rapi” Pikir saya waktu itu.
.
Wajar saja sih. Sepanjang pengalaman saya berkunjung kesini. Kafe ini tak pernah sepi pengunjung. Malam Minggu apalagi. Mas-mas pelayannya tak akan berhenti menerima orderan. Dengan melihat itu, rasanya pengembangan usaha bukan hal yang mustahil. Toh pelayanan pengunjung adalah harga mati.
.
Seperti biasa setelah datang saya dan teman-teman memesan minuman. Saya extrajoss dan beberapa teman memesan es kopi atau apalah saya tidak hafal namanya. Biasanya saya memesan kopi. Tapi karena sore tadi saya sudah minum kopi, rasanya tidak enak jika minum kopi lagi. Anda tahu sendiri kan, apapun yang berlebihan tidaklah baik.
.
Kami memilih tempat agak tinggi. Apa namanya mbayang kalau jawanya. Agar lebih dapat suasana. Mbayang ini terletak di pojok etan. Tingginya sekitar dua meter. Jadi view dari sini bisa melihat semua sudut dari Kopi Tebing.
.
Kami pun berbincang banyak hal. Mulai kegiatan pondok, ngrasani ghibah, sampai ngejokes-jokes yang tidak lucu. hmm. Kami ngobrol lama mungkin ada dua jam lebih.
.
Pengunjung pun mulai meninggalkan kafe. Akustik juga sudah selesai. Padahal tadinya saya sudah sempat ingin bernyanyi maju. Menyiapkan lagu. hmm.
.
Kami pun memutuskan untuk ikut pulang. Sebelum pulang, ketika mengemas barang-barang yang kami bawa. Tampak di bawah mbayang ada sosok lelaki dewasa yang saya ceritakan di awal.
.
Setelah membalas sapaan beliau. Saya iseng bertanya “Tutupnya jam berapa pak?”
.
“Jam 12 mas, tapi santai dulu gakpapa disini mas kalo pengen nongkrong, tapi lampunya sebagian tak matikan ya” katanya
.
Dari gelagatnya saya menangkap ia adalah owner dari Kopi Tebing ini. Tampak dari baju yang ia kenakan tampak santai. Mana mungkin ada orang ngopi pakai kaos oblong singlet saja. Wajah kemakmurannya juga sangat terpancar, walau agak sedikit seram. hehe
.
“Pye di podcast ta?” saya mengedipkan mata kepada salah satu teman.
.
Oh ya podcast dalam istilah ngobrol kami secara mudahnya adalah wawancara informal. Tidak dalam arti sebenarnya yang mesti direkam. Saya kira orang-orang gini mesti digali pengalamannya.
.
“Oh dari Langitan? anak saya juga mondok disana mas” ujarnya
.
Setelah mendapat jawaban ini saya merasa mendapat lampu hijau. Kesamaan latar belakang adalah first impression yang baik dalam memulai wawancara hehehe. Mumpung.
.
Belum sempat saya tanya ternyata bapaknya sudah lebih dulu bercerita.
.
Awalnya ia membangun Kopi Tebing ini pada saat awal pandemi. Bermula ketika ia kalah dalam pilkades. Calon kades mana yang tidak stress dengan kekalahan. Setelah begitu banyak harta yang dijadikan taruhan.
.
Ia juga sama, ia frustasi berat. Untuk meredamkan pikirannya ia ingin menepi. Menyepi. Menenangkan diri. Ia ingin menyingkirkan segala bentuk hiruk pikuk politik desa yang selalu menghampiri.
.
Dipilihlah tanah di dekat Gunung pegat untuk menenangkan diri. Tanah itu miliknya sendiri. Tidak membeli. Agak jauh dari desa asalnya; Nguwok. Waktu itu tidak ada bangunan lain disitu. Sepanjang mata memandang hanya ada sawah yang menghampar dan bukit kapur yang ditambang.
Ia olah sendiri tanah itu. Mula-mula ia tidak tahu ingin berbuat apa ditanah itu.
.
Beberapa tetangganya menganggap ia telah gila. Gendeng. Kalah pemilu kok malah nang gunung. Begitu kira-kira desas-desus warga
.
Di desa, apapun posisimu tentu akan mengundang omongan tetangga. Kalau menang. Pasti ada yang bilang, “Wah dukune mandi tenan rek”
.
Kalau kalah, “Waah kurang akeh duwite ikuu”
.
Tapi ia tak memerdulikan semua itu. Ia hanya ingin menenangkan diri. Ia tak ingin kekalahannya justru memperumit hidupnya. Ia kemudian berfikir apa yang bisa saya buat disini.
.
Ia pun memutuskan untuk membuat gazebo dan mushola. untuk bersantai. Setelah selesai ia tefikir untuk membuat warung kopi. Bisnis yang sedang ramai-ramainya. Bisnis yang sedang hype-hypenya. Dimanapun tempatnya, warung kopi akan selalu ada.
.
Tapi posisinya saat itu sangat sulit: Baru kalah pilkades, otomatis kantongnya baru saja terkuras cukup banyak. Sedangkan anda tahu modal membangun kafe mulai dari nol biayanya sangat besar. Namun ia tetap yakin, sekalipun tak banyak uang disaku ia ingin mewujudkan keinginan itu.
.
“Walah ape ngebor banyu mas, aku gak nyekel duwit blas. Pokoe bondo ngongkon wong mas engko bayarine dipiker buri” Kenangnya menceritakan awal-awal pendirian kafenya.
.
“Barang wes di bor atusan meter, jebul gak metu banyune” lanjutnya.
.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana tekor dan bonyoknya. Saya tahu sendiri di pondok biaya untuk ngebor air dengan kedalaman yang cukup dalam biayanya tidak sedikit. Mencapai puluhan juta. Dan ia harus membuat dua lubang, karena yang pertama zonk. Tidak mengeluarkan air sama sekali. Bisa anda kalkulasi sendiri biayanya berapa. Itu baru air lo ya? belum bangunan fisik, membangun jaringan listrik, belanja aset dsb.
.
“Aku mok bondo yakin mas, Gusti Allah bakal nulungi” ucapnya
.
“Nek gak ditulungi yo karek mati ae mas wong sakmunukehe utange”
.
Tapi kemudian keyakinannya membuahkan hasil. Ternyata Allah selalu memberi jalan bagi hambanya yang yakin dan kepepet. Selalu saja ada uang untuk modal membangun kafe impiannya itu.
.
Setelah sekian lama, terwujudlah hasil pelampiasan kekalahan kades itu. Kafe yang mulanya ia bangun untuk menenangkan dirinya itu, sudah siap untuk menyiapkan ketenangan bagi pengunjungnya. Interior sudah mapan, pegawai juga sudah ada. Kafe itu kian hari semakin ramai.
.
Ia punya harapan besar di kafenya itu. Lewat kafe itu, ia ingin memfasilitasi orang-orang bingung yang ingin mencari ketenangan. Selain itu, ia juga ingin mengubah wajah gunung pegat. Selama ini Gunung Pegat citranya sedikit remang. Anda sudah tahu sendiri mungkin, banyak warung remang di sekitar situ. Penjual miras juga tak tak terbilang jumlahnya.
.
Makanya sedari awal, yang ia bangun pertama kali adalah mushola. Untuk menunjukkan kesungguhannya itu kepada warga sekitar atas usahanya. Beberapa bulan sekali ia juga mengundang gambus sebagai pengisi live konsernya.
.
Oh satu lagi. Setiap bulan ia menyisihkan 2,5 atau 25 persen (Saya lupa) untuk dialokasikan kepada anak yatim setempat. Bahkan seringkali ia melebihi alokasinya.
.
Memang top-topan orang satu ini.
..
“Untuk milad kafe ini kemarin juga sempat ape ngundang Fatihah Indonesia mas”
.
“Waaaah Mashhhook iku pak, KOPI TEBING BERSHOLAWAT!!” sahut saya bengok bengok.
Tapi memang terkendala pandemi dan pertimbangan berbagai hal kata bapaknya harus ditunda terlebih dahulu.
.
Saya kemudian sedikit menyinggung jalan baru di sebelah selatan tadi.
.
“Niku yang selatan, jalan baru suae pak”
.
Ternyata dugaan saya salah besar. Kalau saya kira jalan baru itu adalah pengembangan usaha. Pada nyatanya jalan itu adalah solusi atas masalah yang sedang menimpa Kopi Tebing.
.
Ceritanya beberapa waktu lalu jalan lama itu ditutup oleh pemerintah desa setempat. Tidak terlalu jelas alasan penutupannya. menurut bapaknya juga tidak ada peringatan tertulis yang ia terima. Ia pun bingung kenapa. Karena hal itu, operasional kafe sempat sepi karena hanya itulah satu-satunya akses jalan menuju kafe.
.
Ia pun mencoba menjalin komunikasi dengan pihak setempat. Tapi tidak ada jawaban memuaskan. Ia sempat akan memberontak namun ia urungkan. Penutupan jalan itu menurutnya tak beralasan. Tanah juga miliknya sendiri, mengganggu ketertiban desa juga tidak. Bahkan seperti yang saya ceritakan tadi, Kopi Tebing hadir untuk memperbaiki citra Gunung pegat yang suram. Ia bahkan tak segan mengobrak ngabrik pengunjung yang ketahuan membawa sangu miras. Karena sedari awal prinsip itu sangat kuat.
.
“Laiyo to mas-mas lawong bakol kopi ae diangel-angel. Karoan aku dodol miras ngunu gak yo”
.
Ia pun memilih jaln lain. Ia memutar otak mencari solusi alternatif. Terfikirlah untuk membeli tanah di selatan Kopi Tebing.
.
Tapi kesulitannya satu; sama seperti di proses awal pendirian kafe ini: tidak ada uang. Karena tak lama sebelum ini ia juga baru membangun kanopi di kafe yang menghabiskan puluhan juta juga.
.
Keputusannya pun sama seperti di awal. Yakin. Usaha. Titik. Mungkin itu sudah menjadi karakter aslinya yang ngeyel dan pantang menyerah.
.
Ndilalah, baru ditanyakan kepada pemilik tanah. Sang pemilik justru memberikan tanahnya untuk jalan menuju kafe secara cuma-cuma. Subhanallah. Entah itu tanah bernilai berapa ratus juta. Lawong panjangnya ratusan meter.
.
Tapi mungkin begitulah Allah mengatur segalanya dengan indah. Hal-Hal yang seakan menjadi musibah justru jika disabari dan ditlateni akan menjadi manis dan wah.
.
“Tapi diambil hikmahnya saja mas, sopo ngerti dalane saiki diliwatno kidul nilai eknomi ndek kono iso terangkat. Nek wes rame sopo ngerti rego tanah sekitar kunu iso mundak, iso dadi lantaran lahire UMKM anyar ndek sekitar kono”
.
“Amiin pak” jawab
.
Saya kemudian segera berterima kasih dan pamit. Saya pun pulang dari Tebing dengan perasaan senang dan tenang. Sampai lupa kalo saya belum memperkenalkan diri dan berkenalan.
Oh terakhir untuk segenap pembaca terima kasih sudah bersedia meluangkan waktu untuk membaca. Pesan saya satu saja. Sama seperti tagline Kopi Tebing yang selalu saya ingat.
.
"Mampirlah Walau Sejenak"
.
Boleh mampir di blog sini sekali-kali atau ke rumah eaa~
.
Panjang umur orang-orang baik :)
2 Komentar
Sangat menginspirasi. Tak tunggu podcast2 yg lainnya ya
BalasHapusTerima kasih kak
Hapus