Beberapa hari ini saya kembali berhenti menulis. Tidak berhenti sepenuhnya sebenarnya. Maksud saya adalah berhenti menulis challenge #30haribercerita. Entah kenapa, kemalasan itu tiba-tiba datang kembali. Tapi sudahlah, saya tidak akan menulis banyak alasan. Yang jelas saya harus mengqodho’ 5 tulisan. Banyak? ya itulah resiko karena menunda-nunda tulisan.
.
Sebenarnya, dari awal tujuan saya mengikuti challenge ini adalah untuk melatih kembali kedisiplinan menulis saya. Karena, selama ini saya selalu menulis kalau ada tugas saja. Baik itu di Majalah Langitan atau di media lainnya. Selebihnya saya hanya menulis awang-awangan saja. Sak enake udele kalau bahasa jawanya. Seperti yang saya tulis, di bio twitter saya.
“Tidur semaunya, dan menulis sesukanya”
.
Nah dengan challenge ini, saya ingin mempunyai kebiasaan menulis rutin. disiplin, dan kualitas yang meningkat kalau mungkin.
.
Tapi beda rencana beda realita. Pada kenyataanya di hari kesepuluh kemarin saya justru sudah tumbang. Bukan tumbang dalam arti yang sebenarnya, tapi tumbang dalam melakukan rencana itu tentunya.
.
Alasan lain kenapa saya terobsesi mengikuti challenge ini, adalah karena Abah Dahlan Iskan. Walaupun beliau tidak secara langsung mempengaruhi saya. Saya sangat terobsesi berkat Disway. Saya sendiri sudah berlangganan membaca kolom hariannya itu semenjak awal mondok.
.
Dulu ketika di pondok, rubrik yang selalu saya baca pertama kali di koran Jawa Pos adalah rubrik Disway. Bahkan karena, di akhir-akhir saya mondok koran jawa pos dibatasi, dan koran yang resmi diperbolehkan di Mading santri adalah Duta Masyarakat. Saya selalu mencari koran Jawa Pos dimanapun bisa saya temukan. Seperti di Kantor Mts, atau di Kantor Amm. Paling sering tentu ketika jadwal jaga malam, di Pos induk semua koran edisi beberapa hari pasti saya pinjam, baca dan kadang tidak saya kembalikan.
.
Dari Disway itu saya ingin mencoba mendisiplinkan diri menulis sebagaimana Abah Dahlan -Saya menyebut abah tidak lain adalah sebagai bentuk penghormatan. Karena secara teknik dan motivasi menulis saya belajar banyak dari Pak Dahlan Iskan ini-.DImana beliau selalu konsisten menerbitkan tulisan setiap pukul lima pagi. Setiap hari. Dan itu sudah berjalan bertahun-tahun.
.
Dari beliau pula, ketika tidak ada laptop saya harus membiasakan diri menulis di hape. Sebagaimana beliau yang telah lama tidak menulis di laptop. Sesibuk apapun, beliau pasti menyempatkan diri untuk menulis. Di mobil, di pesawat, dimanapun ia sempat.
.
Saya sendiri juga termasuk orang yang jarang menulis fiksi dan cerita. Seingat saya, saya menulis cerpen hanya dua kali. Pertama, ketika tugas Bahasa Indonesia kelas 9. Kedua, ketika bersama teman-teman perpustakaan Langitan. Dan uniknya keduanya diterbitkan.
.
Yang pertama, karena itu merupakan tugas Bindo ya. Guru saya waktu itu, Bu Sunis memberikan tantangan cerpen yang paling bagus akan diterbitkan di majalah sekolah. Dan anehnya cerpen yang saya kerjakan serampangan di warnet itu jadi yang terbaik dan dimuat di Majalah Pilar. Seingat saya cerpen saya itu berjudul Doa Sang Kiai. Yang secara garis besar merupakan cerita pengalaman mengikuti Lomba Sispres di Kabupaten beberapa waktu sebelumnya.
.
Nah, karena minimnya jam terbang saya menulis cerita tersebut. Dalam tantangan menulis #30haribercerita ini saya ingin mengasah kemampuan bercerita saya. Itung-itung juga belajar beberapa gaya menulis cerita dari beberapa penulis yang saya kenal.
.
Hal tersebut bisa anda lihat di 10 hari terakhir kemarin. Mungkin anda akan menemukan banyak gaya yang berbeda. Pernah saya mencoba gaya bercerita ala Dahlan Iskan. Kalimat pendek-pendek. Hanya tiga sampai lima kata dalam satu kalimat. Tapi sangat detail mendiskripsikan sesuatu.
.
Pernah juga saya mencoba gaya melucu Agus Mulyadi dan jurnalis kawakan Mahbub Djunaidi, yakni bercerita dengan menyisipkan aksen humor didalamnya. Seperti tulisan Teteh dan Teh Tawar Jabar. Dan saya akui, ini sangat sulit. Tulisan yang saya sebut humor, ketika saya tanya ke pembaca ternyata tidak. Entahlah mungkin Karena, memang melucu bukan bakat saya ya.
.
Pernah juga saya menulis cerita ala Iqbal Aji Daryono kolumnis mingguan Detik.com itu, menulis cerita ringan harian. Namun diselingi kontemplasi yang dalam. Ini juga memiliki tingkat kesulitan dewa. Seperti dalam tulisan Bandung Historical Walk itu, saya hanya ingin menceritakan cerita saya berjalan di Jalan Braga dan Museum KAA. Kemudian menambah dialog imajiner hasil renungan saya disana. Namun ya belum bisa seperti belio.
.
Tapi entahlah. Barangkali karena ekspektasi saya yang terlalu tinggi itu, yang membuat beberapa hari ini saya mengalami kejenuhan. Beberapa hari ini tidak menulis cerita. Hanya berkuat menulis majalah dan rebahan tentunya.
.
Hingga sore tadi, ketika saya melihat serial “Start Up” untuk kedua kalinya. Melihat Seo Dal Mi bermain ayunan dibawah pengawasan sang ayah. Saya baru sadar. ternyata saya terlalu asyik mengayun terlalu tinggi, sampai lupa menaruh pasir agar ketika jatuh tidak sakit lagi.
0 Komentar