Tanggal 18 April, tepat 63 tahun yang lalu, para pemimpin negara Asia Afrika berjalan kaki dari Hotel Savoy Homann menuju Gedung Merdeka untuk mengikuti Konferensi Asia Afrika. Sebuah pertemuan internasional penting yang sangat bersejarah. Bung Karno, didampingi 29 pemimpin dari Asia dan Afrika memulai sebuah langkah untuk peradaban dunia baru. Indonesia yang kala itu baru berumur 10 tahun, sudah mampu menggalang solidaritas bangsa-bangsa Asia-afrika untuk menyatukan langkah, menghentikan kolonialisme dimanapun ia berada.
Dari langkah-langkah para pemimpin inilah, kemudian dihasilkan satu keputusan penting yang mendunia. Dasasila Bandung, seperti itu sejarawan menyebutnya. Itu berisi 10 poin penting yang pada intinya berisi komitmen bersama tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kerukunan dan kerjasama dunia".
KAA Bandung inilah kelak menginspirasi Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, dan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser membentuk Gerakan Non-Blok. Juga setelah KAA di Bandung ini banyak sekali negara Asia dan Afrika yang sukses melawan kolonialisme di negaranya, lantas memproklamirkan kemerdekaanya sendiri.. Dahsyat sekali bukan pertemuan bandung ini.
Kalau meminjam kata Bung Karno dalam pidato pembukaan KAA ini selain berkumpul para pemimpin-pemimpin hebat. Dalam pertemuan itu yang tak kalah penting adalah terdapat jiwa ‘undying, indomitable and invincible’ yang terpatri dalam setiap delegasi. Yaitu jiwa yang tak dapat dimatikan, tak dapat dijinakkan dan tak terkalahkan. Tak heran jika putusan-putusannya sangat berpengaruh dan fenomenal dalam kancah global.
“Hingga saat ini salah satu agenda wajib ketika memperingati konferensi Asia Afrika ini adalah prosesi Bandung Historical Walk ini.” Ucap salah satu guide saya di akhir kunjungan saya di museum KAA itu.
Beberapa saat kemudian saya membayangkan kembali momen-momen ketika saya baru turun Bus Damri Bandung tepat di depan Hotel Savoy. Saya memang selalu senang, ketika membayangkan diri seolah-olah ikut dalam sejarah. Menghidupkan kembali sebuah adegan sejarah memang hal yang mengasyikkan sekali bagi saya.
Mulai dari Hotel saya berjalan dengan percaya diri. Jalanan sekitar Braga begitu ramai. Tak sedetik pun jalan ini lengang dari kendaraan. Kebetulan hari itu juga Minggu, banyak pula pesepeda yang lalu lalang. Saya membayangkan diri saya adalah U Nu perdana menteri Myanmar yang berjalan di samping Bung Karno. Kenapa saya tidak membayangkan sebagai bung karno saja. Tidak! Karena selain saya tidak ada yang mirip-mirip sukarno, saya juga tidak cocok dan tidak sanggup menjadi Soekarno yang mempunyai banyak istri wkwkwk.
Namun show itu hanya sebentar. Karena banyaknya pengendara rombongan kami yang hendak menuju Konferensi harus terhenti. Beberapa menit kami menunggu, tidak ada tanda-tanda jalan menyepi. Ah sial, beginilah kalau tidak menjadi pemimpin. Secara keramaian tampaknya tak jauh beda sih, kalau dulu rombongan Bung Karno Jalan Braga begitu ramai dengan para simpatisan dan masyarakat Indonesia yang membaur. Mereka berteriak, terharu menyaksikan tokoh-tokoh penting dunia sedang berjalan menuju museum.
Tapi rombongan saya tidak, ramai sih tapi mereka tidak peduli. Lagian siapa saya kok minta digituin. Tapi gak apa saya tetap membayangkan keramaian itu tertuju pada kami. Saya percaya langkah-langkah kami tak ubahnya langkah para delegasi KAA pada waktu itu. Bedanya, jika mereka berkumpul berdasarkan kesadaran bersama, common sense, bahwa dunia pada saat itu tidak baik-baik saja. Kolonialisme dimana-mana, penindasan rasialis tercecar tak terhingga, serta trauma psikis dan perang dingin pasca Perang Dunia kedua yang masih menghantui. Langkah saya pada saat itu saya artikan berangkat dari common sense yang sama. Bahwa pemuda-pemuda seusia saya tengah mengalami fase serius. Quarter life crisis, kalau bahasa jawa katanya.
Memang tidak ada lagi penjajahan, maupun perang fisik di dunia. Akan tetapi, munculnya kekhawatiran, keraguan terhadap kemampuan diri, dan kebingungan menentukan arah hidup tak ubahnya adalah bentuk imperialisme baru yang melekat pada diri sendiri.
Makanya, langkah ini menurut saya sangat penting. Untuk diri saya sendiri dan ya saya sendiri dalam mengarungi fase itu. Harapannya setelah memasuki gedung merdeka itu, saya punya beberapa semangat penting sebagaimana KAA untuk mengubah jalan hidup saya dan pemuda lainnya. Dengan latar belakang yang meyakinkan itu saya melangkah mantap.
Maksud hati ingin menyebrang. Namun, kendaraan Bandung seakan tidak ada habisnya. Rombongan saya pun harus terhenti lama.
Ah sial setelah beberapa menit menunggu. Capek ternyata. Di belakang kami ada seorang yang tiba tiba memencet tombol di tiang samping tempat saya berdiri. Sejurus itu pula mobil dan kendaran pun berhenti.
"Wooo edan po, gur carane nyebrang gudu mencet bel sik" Gerutu saya kepada kebodohan saya sendiri.
Kami ikut berjalan menyebrang. Kepercayaan diri kami kembali pulih. Harapan-harapan mengambang. Masa depan dunia seakan ada ditangan kita.
Belum sampai gedung merdeka, kami kemudian terhenti. Kami kalah untuk sementara, belum sampai tujuan. Kami sudah tergoda untuk berfoto ria. Rasanya godaan kamera terkadang lebih berat daripada godaan lainnya.
Tapi begitulah anak muda, ketika ingin mencapai tujuan. Dan selagi masih bisa diselingi senang senang kenapa tidak dilakukan? "Bersenang-senang dahulu, sukses kemudian”
Bandung walk bagi saya mungkin bisa saya artikan sebagai langkah penting untuk memulai konfrontasi saya dengan diri saya sendiri, langkah melepaskan ego, diskriminasi impian dan sebagainya.
Loh ini penting karena banyak sekali diantara kita termasuk saya sendiri yang secara dhohir tidak sedang melakukan diskriminasi terhadap orang lain, tidak pernah menyakiti orang lain. Namun secara tidak sadar telah lebih kejam mendiskriminasi diri dan mimpinya sendiri
Contoh kecil, masing-masing diantara kita semua tentu punya mimpi dan cita-cita sendiri. Tapi mungkin dalam beberapa hal elementer kita masih belum bisa membiasakan diri disiplin akan hal-hal kecil. Masih bangun kesiangan, suka menunda-nunda pekerjaan, sering mengeluh dan lain sebagainya.
Padahal jika kita memang berkomitmen untuk mencapai mimpi kita. Kita telah mematok beberapa target dan sudah berkompromi dengan mimpi itu. Maka sudah menjadi hak mimpi itu untuk terus kita perjuangkan dan kita buktikan kesungguhan kita.
“Ayo nang Alun-alun!” ajak teman saya
Sontak saya terbangun dari lamunan dan bayangan saya. Terlalu jauh ternyata saya melamun sampai nyerocos tak terhingga. Terakhir saya kutipkan saja salah satu kutipan Bung karno dalam pidato pembukaan KAA yang mungkin masih relate untuk kondisi kita.
“Like peace, freedom is indivisible. Peace was necessary for us, because an outbreak of fighting in our part of the world would imperil our precious independence. No task is more urgent than that of preserving peace. Without peace our independence means little”
(Seperti perdamaian, kemerdekaan tak dapat terbagi. Perdamaian perlu untuk kita, karena pecahnya pertempuran di bagian dunia kita akan sangat membahayakan bagi kemerdekaan kita yang tak ternilai harganya. Tidak ada tugas yang lebih mendesak daripada menjaga perdamaian. Tanpa perdamaian, kemerdekaan yang kita punya tak bernilai apa-apa!)
Dan the last kalo ini dari saya untuk saya sendiri. Masih agak nyambung dengan kutipan Bung karno diatas.
“Perdamaian dunia itu penting, namun percayalah sedamai apapun dunia jika kamu tidak bisa berdamai dengan dirimu sendiri ya percuma ri!
0 Komentar