Dok Prau 2022 dari Kiri: (Yazid, Sate, Gembong, Yek, Avin, Adib) |
Jika anda bertanya, apakah buku mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam diri seseorang. Mungkin saya tidak akan bisa menjawab secara pasti. Karena, pada dasarnya buku hanyalah sebuah wasilah atau media. Output dan hasil tentu sepenuhnya juga tidak bisa lepas dipengaruhi oleh subjek atau orang yang membaca.
Sebagaimana makanan, setiap orang mempunyai selera dan kecenderungan masing-masing. Beberapa makanan hanya membawa lezat dan kenyang sesaat. Banyak juga makanan yang setelah usai dimakan, melahirkan sensasi yang tak terlupakan. Membuat orang yang memakan berimajinasi banyak hal; bagaimana bisa makanan seenak ini dibuat. Apakah bahan makanan ini memang spesial dan banyak hal. Begitu pula buku, banyak juga yang demikian.
Diantara salah satu buku yang mampu menggerakkan kesadaran dan alam bawah sadar saya adalah buku autobiografi milik KH. Saifuddin Zuhri yang merupakan menteri agama zaman kepemimpinan presiden Soekarno. Buku itu berjudul Guruku Orang-orang Pesantren. Secara garis besar buku itu menceritakan perjalanannya meniti karir mulai dari merintis gerakan NU di tanah kelahirannya; Banyumas. Hingga perjuangannya menjadi Koordinator laskar Hizbullah wilayah Kedu dalam menumpas perlawanan Belanda. Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana, tapi dapat membawa pembaca seolah-olah hidup di masa-masa perjuangan. Dialog-dialognya juga hidup. Atmosfer perjuangan benar-benar akan anda rasakan ketika membacanya.
Saya pertama kali membaca buku itu sekitar 5 tahun lalu di Perpustakaan Langitan. Waktu itu buku tersebut masih cetakan lama dengan kondisi agak mengenaskan. Kertas kuning, sampul yang lusuh. Beberapa halaman sudah robek.
Buku Guruku Orang Orang dari Pesantren Cetakan lama Penerbit al-Maarif |
Saya membaca kembali buku tersebut sekitar satu bulan yang lalu. Dengan cetakan baru. Di tengah kejenuhan memenuhi deadline dan beberapa acara super dadakan. Saya biasanya Ketika suntuk dan buntu menyerang, membaca dan melakukan aktivitas fisik adalah pilihan yang lazim saya lakukan. Entah itu futsal, nguras jeding atau apalah yang sekira menuntut aktivitas fisik.
Dalam pembacaan yang kedua tersebut saya dibawa kembali oleh perasaan yang sama ketika pertama kali membaca buku ini. Begitu terpukau, terpesona dan trenyuh. Bedanya kali ini, saya sudah agak bisa connect dengan apa yang ditulis Kiai Saifuddin Zuhri. Utamanya mengenai latar dan lokasi kisah-kisah dalam buku tersebut. Dulu ketika pertama membaca hanya menangkap poin-poin yang diceritakan saja. Namun dalam pembacaan kedua ini saya agak sudah punya gambaran. Karena akhir-akhir ini saya banyak melakukan perjalanan dan mengenal tempat-tempat baru.
Secara perlahan buku tersebut menanam sugesti dalam alam bawah sadar saya, kelak entah kapan saya harus pergi kesana. Banyumas, Temanggung, Wonosobo atau lebih dikenal dengan wilayah Kedu. Untuk sekedar menapaktilasi jejak gerilya disana. Memang sebagian besar latar cerita dalam buku tersebut berlokasi di daerah Kedu yang meliputi Banyumas, Temanggung, Wonosobo dsb.
Dalam sebuah bagian buku, KH. Saifuddin Zuhri bercerita ketika sedang keadaan genting dan menuntut untuk melakukan gerilya:
Beliau pun bercerita bagaimana dramatisnya membawa dan mengamankan keluarga naik turun Gunung di sekitar kaki Gunung Sumbing sebelum perang gerilya, dengan bekal seadanya. Melakukan koordinasi dengan batalyon lain. Menyamakan visi dan strategi peperangan, dengan segala keterbatasan akses informasi. Bagaimana mereka secara bergantian berjaga. Kemudian melakukan perjalanan lagi menyusuri dinginnya malam. Sungguh berbagai detail perjuangan gerilya itu begitu tertanam dalam benak saya, dan sedikit menaruh sugesti dalam pikiran saya untuk berimajinasi berada disana.
Wilayah Kedu (Magelang, Temanggung, Banyumas, Kebumen, Purworejo dan Wonosobo.) Semenjak dahulu merupakan daerah penting dalam peta perjuangan bangsa Indonesia. Topologi wilayah yang berbasis pegunungan menjadikan daerah ini menjadi salah satu basis wilayah inti dalam perang gerilya. Mengapa daerah ini dipilih tentu alasannya adalah lokasi yang cocok dan ketersediaan pangan. Sebagaimana ditulis oleh beliau.
“Kita akan berkedudukan di suatu daerah antara Purworejo-Magelang-Wonosobo. Daerah itu baik sekali untuk perang gerilya. Daerah pegunungan, udaranya sejuk, banyak sungai, dan daerahnya sangat subur dengan bahan makanan. Lagi pula tidak jauh dari Yogya” tulisnya
Tak heran jika di daerah ini banyak sekali tokoh pejuang yang lahir di tanah ini. Pada awal abad 19 (1825-1830 M) kita tahu terdapat sosok besar Pangeran Diponegoro yang menggelorakan perang Sabil atau lebih dikenal dengan perang Jawa. Sebelum akhirnya berhasil dilumpuhkan dengan strategi kotor 'jebakan' di rumah Residen Kedu Hindia Belanda di Kota Magelang.
Setelah kekalahan Diponegoro oleh tipu muslihat Belanda, bukan berarti mematikan daya juang masyarakat Kedu. Ruh perjuangan tampaknya sudah menjadi DNA masyarakat Kedu. Warisan kobaran api juang itu masih begitu membara.
Buktinya sosok-sosok Diponegoro selalu lahir dalam berbagai spektrum dan level masyarakat. Mulai masyarakat bawah hingga kaum priyayi. Salah satu tokoh yang paling mudah saya sebut tentu adalah Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, yang lahir di Purbalingga dan wafat di Magelang. Ada juga sosok Jendral Ahmad Yani, Kiai Subchi Parakan dan sederet nama pejuang lainnya.
Nah tiga sosok yang saya sebutkan terakhir, juga banyak disebut dalam buku. Karena ketiganya hidup dalam masa yang bersamaan. Dengan misi perjuangan yang sama pula. Bedanya hanya di tugas masing-masing.
“Pernah Panglima Besar Sudirman dengan anak buahnya pun singgah dulu ke Parakan untuk meminta berkah dan doa Kiai Subeki sebelum menuju ke Ambarawa dan lain-lain pertempuran.” Tulis KH. Syaifuddin Zuhri menceritakan sosok besar dibalik kesuksesan perjuangan masyarakat di daerah Kedu.
Jika anda belum tahu, Kiai Subeki atau KH. Subchi adalah sosok kiai yang terkenal dengan ‘suwuk’ bambu runcingnya. Mengapa dulu orang-orang Indonesia begitu percaya diri melawan penjajah walaupun hanya berbekal bambu runcing. Jawabannya tidak lain adalah KH. Subchi ini. Beliaulah yang diyakini doanya atas izin Allah bisa memberikan kekuatan yang luar biasa. Dan kenyataannya memang demikian.
Orang-orang berduyun-duyun menuju Parakan sebelum naik medan pertempuran. Makanya sekarang Pondok rintisan KH. Subeki dikenal sebagai pondok Bambu Runcing. Namun ada yang menarik dibalik kebesaran sosok KH. Subchi di mata pejuang. Sosoknya digambarkan oleh KH. Syaifuddin Zuhri sebagai sosok yang begitu rendah hati dan low profile. Ketika banyak sekali orang yang berkunjung meminta doa. KH. Subkhi justru menangis. Mengapa harus meminta doa kepada beliau. Masih banyak kiai lain disini. Begitu beliau saking tidak mau dikultuskan.
“Ya Allah, mengapa begini banyak jadinya orang pada datang kepada saya?” demikian Kiai Subeki membuka percakapan dengan air mata yang menggenang ketika melihat banyak orang mengunjungi kediamannya.
Mungkin kesederhanaan dan ketulusan itulah yang membuat doa-doanya begitu melangit.
Bagian lain dalam buku yang paling mengharukan menurut saya adalah ketika KH. Saifuddin Zuhri mendapat tugas untuk berkeliling di kota-kota Jawa Tengah guna mempersiapkan dan meyakinkan mental masyarakat untuk menyambut kemerdekaan. Dimana saat itu, posisi Jepang sudah terdesak sekutu. Secara diatas kertas Jepang sudah ‘pincang’. Untuk itulah KH. Saifuddin Zuhri mengunjungi daerah Wonosobo, Parakan dan berbagai kota yang menjadi ‘kekuasaanya’.
Dalam perjalanan itu ia harus jatuh sakit, hingga harus pulang di Purworejo. Sungguh tak disangka, ketika dalam keadaan gerilya itu ia mendapat kabar mengejutkan dari sebuah siaran radio; Indonesia telah merdeka.
“Aku menangis! Iba rasa hatiku, justru dalam detik-detik paling penting dalam sejarah bangsa kita, saat yang telah lama aku nantikan dengan penuh kesabaran dan penderitaan, tiba-tiba aku berada di tempat yang jauh dari pusat kejadian itu, jauh dari Jakarta pusat perjuangan. Lama aku termenung.” Tulisnya.
Dan masih banyak lagi sebenarnya poin-poin menarik yang ada dalam buku itu. Dalam buku itu pula saya baru mengetahui sisi lain dari sosok KH. Wahid Hasyim adalah sosok panglima perang yang sangat handal. Sekalipun beliau tidak banyak terjun di lapangan, akan tetapi perannya yang sentral dalam pembentukan Hizbullah hingga diraihnya kemerdekaan tidak boleh dipandang sebelah mata. Beliaulah salah satu aktor utama kemerdekaan!.
Makanya ketika sedang asyik membaca buku ini, tiba-tiba ada tawaran dari seorang kawan.
“Ayo nang Wonosobo gone Adib muncak sisan naang Gunung Prau apik ketoe” dalam pesan singkat Wa. Pesan itu tidak langsung saya balas. Saya berpikir sebentar. Ternyata sugesti pikiran saya yang sedang di Wonosobo mendapatkan penawarnya. Tak lama kemudian ia menelpon.
“Gass Iyo, tapi aku durung iso, sok nek wes selow garapan dan tugas mari tak kabari maneh” Jawabku singkat
“Iyo pokoe kowe seng nentukke tanggal, seng sibuk awakmu tok soale”
“Hahaha iyo gampang aman”
Akhirnya Selasa Legi, 14 Juni kemarin saya dan 3 orang kawan berangkat ke Wonosobo. Nekat mengendarai motor; untuk menghemat ongkos. Dengan tujuan utama muncak di Gunung Prau. Tentu sebenarnya saya punya agenda dan keinginan pribadi untuk mengunjungi beberapa destinasi tempat yang bersejarah, baik itu makam ataupun bekas bangunan berbekal bacaan atas buku Guruku Orang-orang pesantren yang sudah saya ceritakan. Akan tetapi, berhubung saya sedang bepergian dengan beberapa orang, tentu saya tidak bisa memaksa ego saya sendiri. Saya ikut saja agenda yang telah kami sepakati.
Disana saya disambut, Adib salah seorang teman seangkatan yang sudah boyong di rumah. Saya dibawa ke rumah Bayu, juga teman seangkatan. Rumahnya tak jauh dari Masjid Agung wonosobo. Keesokannya kami pun muncak, tapi sayang di atas saya bertemu dengan kabut super tebal dan badai. Singkat cerita setelah dua hari disana kami pulang, mengingat Hari Jumat saya harus sudah di pondok untuk beberapa urusan.
POV: ketika tracking masih remote kerjaandi pondok wkwk |
Paling tidak saya sudah bisa menginjakkan kaki di daerah perang gerilya bersejarah itu. Melihat secara langsung tanah dan hutan yang menjadi saksi hidup perjuangan masyarakat kedu. Agak menyesal sedikit sih sebenarnya belum berkunjung dan menemui tempat-tempat bersejarah. Akhirnya dalam hati saya menghibur diri saya sendiri.
“Berarti ini tandanya kapan-kapan saya harus berkunjung ke Wonosobo lagi”
0 Komentar