Sowan Kiai Acep Zam Zam Noor: Anak Kiai yang Memilih Menjadi Sastrawan


Sedianya saya harus menulis tema tulisan ini kemarin. Akan tetapi karena kemarin saya harus melakukan perjalanan panjang selama 17 jam Bandung-Langitan. saya tidak sempat menuliskannya. Handphone saya pun mati, sedangkan di Bus tidak ada charger sama sekali. Tentu ini beda ketika perjalanan berangkat ke Jawa Barat kemarin, karena ketika perjalanan berangkat saya menggunakan jasa kereta api yang super nyaman dan lengkap pelayanannya. Makanya hari ini saya harus menuliskan dua tulisan sebagai qodho’ tulisan kemarin yang belum saya tulis.

Kali ini saya ingin menulis pengalaman bertemu salah satu sastrawan kenamaan di Indonesia. Alhamdulillah beberapa waktu lalu, di sela-sela beberapa tugas di Jawa Barat saya dan beberapa teman bisa ngobrol dan diskusi tentang sastra pesantren bersama Kiai Acep Zam Zam Noor di kediamannya.


Walaupun saya sendiri bukan dan tidak bercita-cita menjadi sastrawan. Entah kenapa pengalaman kemarin begitu membekas. Bahkan kalau boleh jujur, saya sendiri Jarang sekali membaca buku-buku puisi. Apalagi buku puisi karangan Acep Zam Zam Noor yang masanya jauh diatas saya. Satu-satunya buku puisi yang pernah saya punya dan baca khatam adalah Kasmaran, karya Usman Ar-Rumi yang tentunya bertema romansa. Selain itu? ya tidak sama sekali. 


Sebelumnya memang tidak ada rencana sama sekali untuk bertemu beliau. Akan tetapi, jika takdir yang mempertemukan kita bisa apa? Jadi ceritanya ketika sedang perjalanan di kereta, saya sedang membaca buku biografi Ajengan Cipasung KH. Ilyas Ruhiyat. Sebelumnya saya juga sudah mengetahui sih, kalau Acep Zam Zam Noor adalah putra tertua dari KH. Ilyas Ruhiyat itu. Tapi, pikir saya waktu itu, tentunya beliau (Acep Zam Zam Noor) tidak akan tinggal di Cipasung. Sebagai sastrawan nasional, tentu beliau tidak akan tinggal di pedesaan  Cipasung, pasti di Jakarta. pikir saya. 

.

Namun, alangkah terkejutnya saya ketika membaca buku biografi sang ayah. ternyata disitu disebutkan bahwa semua putra putri beliau tinggal tidak jauh dari area pesantren Cipasung. Mengingat wasiat dari sang ayah agar semua putra dan putrinya tetap membantu membesarkan pesantren sesuai bidang masing-masing.

.

Nah untuk itu saya pun mengalokasikan sebagian waktu untuk bertemu beliau. Tidak sulit ternyata untuk bisa menemui beliau. Sebagaimana biasa saya 


Baru memasuki ruang tamu saja aura sastrawan dan budayawan sudah menyambut. Di ruang tamu sederhana itu terpampang dua lukisan besar. Yang satu berupa wajah beliau sendiri yang kedua berupa lukisan abstrak nan estetik. Saya tidak tahu persis apakah keduanya merupakan hasil karya beliau atau tidak. Yang jelas latar belakang beliau juga merupakan salah satu perupa kondang. Pendidikan Strata 1 dan magister beliau adalah jurusan seni rupa di ITB dan Italia.

.

Seperti biasa kami, menyampaikan maksud kedatangan kami dan berbasa basi. Di awal sebenarnya obrolan kami terlihat sangat berat dan kaku. Entah karena terlalu kaget atau pembawaan beliau yang terlalu diam. Beberapa pertanyaan saya hanya dijawab singkat. Lantas, teman saya mengalihkan pembahasan dengan sastra pesantren.

.

“Oh kebetulan kemarin saya dari Bandung juga berdiskusi tentang sastra pesantren” katanya menjawab lebih antusias.

.

“Bagaimana itu pak?” saya ikut menyambut.

.

Beliaupun menceritakan bagaimana beliau bertemu dengan pegiat sastra di Bandung dan membicarakan masa depan sastra pesantren. Obrolan pun kembali gayeng dan hidup. Kami seakan menemukan chemistry yang hilang. saya pun kemudian bergantian bercerita bagaimana perkembangan dan dinamika sastra di pesantren Langitan. Termasuk keluhan yang selama ini selalu menjadi momok perkembangan komunitas kami. Beliau sangat mengapresiasi dan memberikan beberapa masukan kepada kami. Saya kemudian menyinggung beberapa isu sastra terkini, termasuk keterlibatan beliau terhadap beberapa event sastra pesantren yang sempat digelar beberapa tahun lalu sebelum pandemi di Situbondo. Namun di tulisan kali ini saya tidak hendak menulis isi dari pembicaraan saya dengan beliau. Namun saya akan menulis hal lain.


Dari pertemuan tersebut, selain mendapat banyak sekali ilmu dan insight menarik dalam sastra pesantren. Hal lain yang saya garis bawahi dari karir Acep Zam Zam Noer adalah; santri pun bisa menjadi orang hebat di bidangnya kalau dijalani dengan serius. Saya garis bawahi lagi ya. Beliau adalah seorang putra kiai; gus; Seseorang yang pada umumnya akan digadang-gadang menjadi kiai sepeninggal ayahnya. 


Kalau kita baca latar belakang Acep Zam Zam Noor yang merupakan anak kiai besar. Lantas membandingkannya dengan profesinya sekarang menjadi budayawan dan sastrawan tentunya keduanya adalah dua hal yang sangat sulit untuk kita nalar dengan akal sehat. Tentu banyak sekali pertanyaan skeptis di benak anda. Pun tidak terkecuali saya ketika awal-awal tahu.

.

“Kok bisa-bisanya anak kiai menjadi sastrawan. Harusnya ya menjadi penerus sang ayah, membesarkan dan mengembangkan lembaga pesantren”

.

Tapi Acep Zam Zam Noor mematahkan anggapan mainstream itu. Menurutnya tidak semua anak kiai harus menjadi kiai. Menurutnya apapun profesi, karir dan jalan yang dipilih seseorang untuk hidupnya adalah pilihan yang harus dihormati. Ia begitu ingat pesan sang ayah ketika ia memilih jurusan seni rupa ketika awal kuliah.

.

“Asal kamu yakin bahwa seni yang kamu geluti itu akan bermanfaat bagi masyarakat”


Berbekal pesan ayah itulah beliau selalu memompa dirinya untuk disiplin menekuni jalan yang dipilihnya. Usai tamat s1 di ITB, beliau melanjutkan studinya di  Universitá Italiana per Stranieri, Perugia, Italia.


Setelah itu beliau mulai fokus meniti karir di bidang sastra. Satu-per satu puisi beliau buat. satu per satu pula puisi-puisi itu mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat dan penikmat sastra pada khususnya. Hingga puncaknya, pada tahun 2005 beliau membuktikan bahwa lewat jalur sastra ia bisa membawa manfaat yang besar; sesuai pesan sang ayah’. Bahkan membawa nama pesantren harum di kancah internasional. Beliau menyabet penghargaan South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (2005) atas kumpulan puisinya yang berjudul Jalan Menuju Rumahmu. 

.

Tidak berhenti sampai disitu pada tahun 2007 buku Kumpulan puisinya yang lain “Menjadi Penyair Lagi” mendapatkan penghargaan Kusala Sastra Kathulistiwa; salah satu pentas sastra bergengsi di Indonesia. 


Sekali lagi Kiai Acep lewat deretan prestasi itu, beliau telah membuktikan kepada ayahnya bahwa ia bisa membantu sang ayah untuk mengembangkan dan mengenalkan pesantren dengan cara yang tidak pernah orang duga sebelumnya. Lewat jalur sastra. Bahkan mungkin gema pesantren Cipasung belum pernah didengar secara Internasional, kecuali lewat prestasi Kiai Acep tersebut.

.

Mengenai isi dari puisi Kiai Acep, beberapa pengamat menyebut puisi-puisi gubahan  Kiai Acep Zam Zam Noor mempunyai nilai sufistik yang tinggi, Hal tersebut tercermin dari banyak sekali frasa dalam puisinya yang mempunyai gambaran betapa tulus dan jujurnya seorang santri dalam menyusuri jalan kehambaan. Dimana seringkali beliau menggunakan diksi alam sebagai perumpamaan. Seperti dalam Puisi CIpasung yang terkenal itu.

.

Cipasung 

.

Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning 

Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri
Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu 

Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental 

Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup 

Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu 

<>


Dalam puisi tersebut, jelas sekali Kiai Acep menyelipkan nilai-nilai religius yang sangat tinggi dengan bahasa sederhana berupa alam pedesaan. Barangkali nilai-nilai religius inilah yang beliau maksudkan dalam obrolan kami waktu itu. Dimana beliau berharap agar sastra pesntren akan terus eksis dan berkontrbusi.


“lewat (penggalakan) sastra pesantren itu akan memunculkan sastrawan-sastrwan yang membawa nilai pesantren (itu sendiri).


Karena hanya lewat pesantrenlah, santri akan mempunyai dasar ideologis dan teologis yang benar. Sehingga nantinya dalam tulisannya tidak akan menjadi huruf mati. Lebih dari itu akan terus hidup dan menghidupi banyak orang. Karena selaras dengan nilai luhur yang diajarkan dan dibanggakan orang pesantren.


Posting Komentar

0 Komentar