Paradoks Mencintai Klub Kecil; Seni untuk Menyakiti Diri Sendiri


Pagi ini seharusnya menjadi pagi yang sejuk di kota orang. Tasikmalaya, sejak pertama kali saya menginjakkan di kota ini telah memberikan kenyamanan yang berlebih. Lanskap pegunungan dengan sawah terasering yang saya lihat di jendela kereta kemarin, fiks telah membuat saya jatuh hati di kota ini. Dari sekian banyak kota yang saya kunjungi, barangkali inilah salah satu yang terbaik. 

.

Namun tinggal dan singgah di kota orang selalu akan menyisakan kenangan kepada kota kelahiran. Itu sebabnya sebenarnya kemarin saya ingin menulis ingatan tentang Persela. Dengan jarak 500 Km yang terbentang, saya mungkin bisa lebih luwes menceritakannya. Ketimbang harus menuliskannya di kota saya sendiri. Karena disini saya mungkin bisa mengambil jarak dalam melihat. Sehingga akan lebih objektif dan mengena.

.

Tapi, semenjak tadi malam, saya kurang bersemangat menulis. Persela imbang. Padahal saya ingin bercerita tentang kenangan saya mengenal, membersamai, dan mencintai hingga persela saat ini. Bagaimana semenjak kecil, satu hal yang selalu diajarkan bapak adalah untuk mencintai klub lokal ini. 

.

Akhir-akhir ini persela juga sedang dalam performa tidak baik-baik saja -untuk tidak mengatakan buruk sekali-. Puncaknya kemarin La Mania berkumpul di alun-alun untuk menyampaikan keresahan mereka atas keselamatan persela di musim ini. 

.

Pada akhirnya saya memilih tidur saja. Besok pagi, Klub bola kesukaan saya yang lain juga bermain. Arsenal Kali ini harus melawat ke Old Trafford, kandang Manchester United. Jadwalnya mereka akan bertanding pukul 03.45 WIB. Saya tidak berharap bangun untuk menontonnya. Toh besok masih banyak kegiatan yang mesti saya lakukan.

.

Bangun tidur, seperti biasa kulihat notifikasi di ponsel. Memastikan klub kesayangan mengamankan pertandingan krusial. Sial, dengan mata yang masih berat untuk dibuka. Memandangi layar ponsel lamat-lamat. Skor yang muncul sungguh membuat mata saya langsung berat. 3-2 skor kedudukan, sementara pertandingan sudah mau usai. Saya tidak kaget dengan hasil itu. Sebuah kemalangan yang memang sudah amat sering dialami oleh klub kecintaan saya ini. 

.

Saya berjalan gontai, keluar kamar. Menuju kamar mandi wisma pesantren untuk mengambil air wudhu pertapaan. Sial, banyak sekali wanita.

.

Dua hari ini memang hari yang buruk untuk saya. Dua klub yang saya banggakan, keduanya sama-sama tidak mampu mendulang kemenangan. Barangkali itu merupakan hal biasa. Itulah konsekuensi logis dari mencintai sebuah klub kecil. 

.

Mencintai klub kecil, tak ubahnya adalah sebuah cara paling berani untuk menyakiti diri sendiri. Jika Kalian ingin tahu, manusia apa yang paling tabah di muka bumi ini. Jawabannya adalah suporter tim kecil ini. Bagi mereka, kemenangan bisa jadi merupakan barang mewah. Sedang kekalahan adalah hal yang lumrah. Mereka sepenuh hati menambatkan hati mereka, dan ikhlas jika kapanpun hati itu terluka. 

.

Sialnya mungkin dalam banyak hal lain dalam hidup, saya juga punya cinta yang besar. Namun tidak semuanya mendapatkan hasil yang menyenangkan. Sehingga dari mencintai Persela dan Arsenal lah saya belajar. Bahwa sesungguhnya yang terpenting bukanlah hasil yang sekarang. Obsesi berlebihan kepada sepakbola justru bisa jadi menambah luka yang akan terus berjalan. Karena sepakbola tidak selalu tentang kemenangan dan kekalahan. Lebih dari itu, sepakbola mengajarkan humanisme, loyalitas dan manajemen emosional yang baik.

.

Ironis memang tapi itulah kenyataannya. Sepakbola yang seharusnya menjadi pelarian orang untuk melepas penat. Melepas segala beban kerja yang mungkin selalu menghampiri. Justru menjadi momok menakutkan setiap akhir pekan. Dengan kesadaran penuh, makanya saya bersikap seolah biasa saja. Toh kekalahan hari juga tak menjamin kemenangan besoknya. 

.

Saya juga selalu yakin, dalam hidup semua adalah proporsional. Tidak berlebihan. Semua punya porsi sendiri. Makanya jika pagi ini saya sedikit kecewa dengan kekalahan dua klub tercinta. Saya yakin setelah memberikan beberapa kepedihan, Allah pasti akan menyiapkan hal bahagia lainnya. Dan memang terbukti ketika saya menuliskan ini, diluar sudah ramai sekali. Dari suara gemuruhnya sepertinya ini adalah jam berangkat sekolah pesantren yang saya tempati. Dari jendela, saya bisa melihat para santri dan santriwati sedang berjalan beriringan menuju madrasahnya.

.

Saya pun buru-buru menyelesaikan tulisan ini dan beringsut keluar kamar, "Nampaknya pemandangan di depan itulah kebahagiaan lain yang dijanjikan itu"


Posting Komentar

0 Komentar