Memotret Jogja dari Kejauhan dan Memeluknya Seharian


Sebenarnya saya telah lama ingin mengunjungi kota ini. Banyak sekali alasan yang melatarbelakanginya. 

.

Namun ada beberapa alasan utama yang membuat saya ngebet sekali kesana. Pertama, karena saya belum pernah kesana sama sekali. Dulu waktu SMP ada sih studi tour ke Jogja, Namun entah kenapa waktu itu saya memutuskan tidak ikut. Sampai saat ini saya masih bingung dengan keputusan saya waktu itu. Kok bisa ya wkwk. Padahal sudah bayar dan tidak ada udzur seingat saya. Aneh sekali. Entahlah, saya tidak bisa mengingatnya secara pasti.

.

Untuk alasan kedua, ketiga dan seterusnya ini kayaknya saya harus bercerita. 

.

Begini, karena di pesantren saya diajarkan banyak hal selain kitab. Saya bisa mengenal beberapa hal baru yang selama ini tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Setidaknya ada tiga hal yang pernah saya dalami secara serius di pesantren. Tiga hal tersebut tentu diluar kewajiban saya menekuni materi pendidikan di pesantren. Dan Tentu saja tidak semuanya saya pelajari sekaligus. Proses itu bertahap, satu per satu. Menyesuaikan dengan kewajiban  belajar yang masih saya tanggung. 

.

Pertama adalah desain grafis, kemudian tentang literasi dan pengelolaan perpustakaan. Dan terakhir, yang hingga saat ini masih saya tekuni sampai saat ini adalah menulis dan mengelola media.

.

Mengapa saya begitu terpukau dengan Jogja. Dan apa hubungannya dengan tiga hal tersebut?

.

Begini, karena ketiga hal tersebut adalah passion saya. Makanya hingga saat ini saya masih berusaha update mengenai perkembangan terbaru dari tiga hal tersebut. Nah, dari update an itulah saya jadi tahu. Bahwa di Jogja lah bisa saya temukan contoh nyata kesuksesan di bidang tersebut.. Tak heran jika saat ini —mungkin juga bisa berubah— Jogja memiliki nilai yang begitu istimewa di mata saya. 

.

Untuk urusan desain grafis, dengan kemampuan desain dasar yang saya miliki. Saya selalu tertarik dengan beberapa desainer di Jogja. Utamanya adalah Farid Stevy. Seniman pemilik Studio Liberate itu.  Awal mula saya tahu beliau adalah karena dia adalah sosok dibalik logo PT KAI yang kece itu. Kemudian, saya  semakin tertarik ketika melihat podcast kepala Suku Mojok, mengundangnya sebagai salah satu bintang tamu di podcastnya. Kala itu beliau bercerita bagaimana ia mendirikan Libstud, bagaimana cerita kreatif merintis karir di bidang ini. Fyi, sosok ini juga adalah sosok dibalik logo filosofi kopi. 

.

Kemudian kalau urusan literasi dan buku saya begitu ingat, banyak sekali buku-buku awal yang  saya baca pada masa awal menjadi pustakawan Langitan adalah terbitan LKIS. Seperti Menggugat Kiai Said, Tawashow di Pesantren ; Stand Up Comedy Pesantren The Series, Prisma Pemikiran Gus Dur, Tuhan Tidak Perlu Dibela dsb. 


Pada saat itu saya tidak banyak tahu apa itu LKIS, siapa sosok sosok dibalik dapur intelektual LKIS yang karyanya menjadi pemantik banyak sekali wacana keagamaan yang modern-progresif saat itu. Belakangan saya tahu bahwa LKIS merupakan salah satu wadah kaum muda intelektual NU kala itu, dibawah komando Gus Dur. Rata-rata merupakan alumnus IAIN Sunan Kalijogo (waktu itu). Bisa dibilang LKIS ini merupakan salah satu pionir di bidang pertempuran wacana intelektual di tubuh NU sendiri. Total sampai saat ini ada 300 buku yang telah diterbitkan. Dari dapur LKIS lah tokoh-tokoh intelektual muda Indonesia saat ini lahir. Sebut saja Mas Hairus Salim, Imam Aziz, Jadul Maula, Munim Dz dsb.

.

Kemudian ketika di Perpustakaan pula saya mengenal penerbit yang bukunya hampir selalu bisa saya temui di semua sudut perpustakaan. Judul-judulnya sangat familiar dan penulis-penulisnya sama sekali tidak terkenal.  Saat itu saya hanya berpikir satu hal. "Apa penerbit ini kebanyakan uang apa gimana ya? Kok bisa nerbitin begitu banyak buku yang menurut saya biasa saja, penulisnya pun tidak banyak dikenal?"

.

Anda mungkin sudah tahu penerbit apa yang saya maksud. Ya benar Diva Press. Milik Mas Yai Edi Mulyono. Belakangan ketika sudah menjabat sesuatu di Perpustakaan saya jadi tahu, bahwa semua buku Diva Press itu uruh semua merupakan sumbangan Mas Edi, langsung dari sang Owner. 

.

"Bukan main" pikir saya waktu itu. Setiap liburan, pasti saya 'list' Kota Jogja untuk dijadikan destinasi liburan. Sekalian belanja buku dan demi pengen ketemu Mas Edi. 

.

Belakangan pula saya tahu, saat ini bisnis penerbitan yang Mas Edi rintis itu sudah kian menggurita di Jogja. Banyak sekali anak perusahaan Diva Press yang bergerak di fokus masing-masing. Seperti Ircisod, Basa basi dan lain. Belakangan saya tahu Mas Edi kini juga memiliki 8 kafe milenial. Yang mungkin anda tahu namanya tentu adalah kafe basa basi. Apa enggak cita-cita ideal pemuda saat ini, berbisnis buku dan punya kafe!

.

Ayolah kapan bisa ke Jogja!

.

Kemudian, masih tentang buku. Selama periode kepengurusan saya di Perpustakaan, untuk pengadaan buku saya selalu menangi event bazar buku murah yang diadakan oleh KPJ, Komunitas Penerbit Jogja. Mereka punya agenda rutin berkeliling seluruh kota di Indonesia untuk membuat bazar buku murah. Namun jangan salah, walaupun buku murah, akan tetapi urusan kualitas anda juga tentu sudah tahu sendiri bagaimana kualitas buku Jogja. 

.

Nah dengan harga yang begitu murah dan kualitas itu, saya bisa berhemat banyak. Maklum saja ketika kepengurusan saya, fokus Perpustakaan tidak saja di pengadaan buku, akan tetapi juga di perbaikan sarana dan yang paling besar adalah proses peralihan ke sistem digitalisasi. Dimana hal tersebut juga tidak memakan biaya yang cukup sedikit. 

.

Berkat Jogja pula saya hendak membuka toko buku online. Berkat beberapa link dan relasi yang sudah saya bentuk semenjak menjadi pengurus harian di Perpustakaan. Saya bisa mendapat kontak semua penerbit Jogja dari satu pintu. Saya juga terinspirasi dari banyaknya toko buku online di Jogja yang begitu menggurita. Beberapa diantaranya bahkan sudah mencapai omset puluhan juta, seperti Buku Akik, Berdikaribook, Warung Sastra, Akal Buku dan masih banyak lagi. Tetapi berhubung, belum mendapat restu dari ibuk, niat itu saya urungkan. 

.

Belum lagi kalau urusan dunia kepenulisan dan media. Saya kira, Jogja juga merupakan salah satu kiblat di bidang ini! dan bagi saya Mojok.co adalah racunnya. Berkat racun mojok.co, apalagi podcast-podcastnya saya kepincut dan selalu memotret eksotisme Jogja dari kanal youtubenya. Begitulah, sekalipun 

.

Kalau saya sebut disini penulis-penulis di Jogja, tentu tidak akan pernah ada habisnya. 

.

Oleh sebab itu, saya telah lama jatuh cinta dengan kota ini. Walaupun secara fisik belum pernah kupijakkan kaki di kota ini, akan tetapi kerinduan menghirup manisnya udara di kota ini sungguh mengalahkan semua hal.

.

.

Nah beberapa waktu lalu, ketika angkatan saya mengadakan ziarah wali songo kebetulan rute terakhir yang menjadi destinasi adalah kota Jogja. Yah yang namanya rindu, hal yang pertama kali dilakukan oleh perindu ya memeluknya. Sedekat mungkin, seerat mungkin.

.

Namun sial sekali, setelah turun dari bis saya bingung apa yang harus saya peluk. Akhirnya saya memutuskan jalan-jalan saja di sekitar area Malioboro. Konon katanya Malioboro inilah yang menjadikan kota ini terasa istimewa. Siapa tahu, ketika berjalan menyusuri jalan ini menemukan sesuatu yang dapat menuntaskan kerinduan. Teman-teman sibuk berfoto, saya berjalan saja menyusuri Malioboro, Nol kilometer, hingga sampai di Kraton Lor. 

.

Sekembalinya dari keraton, hujan deras tiba-tiba mengguyur. Beberapa teman berlarian mencari tempat berteduh. Sekelebat saya ingat, konon juga romantisme kota ini akan keluar ketika hujan. Konon, aroma hujan yang menyentuh jalanan Jogja akan memantik semua kenangan. Buih Saya percaya saja hal itu dan mencoba membuktikannya. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap santai menikmati hujan ini. 

.

Akan tetapi di depan, salah seorang teman menawarkan untuk membeli jas hujan sekali pakai lima belas ribuan. Merasa tak enak, saya ikut saja. Dan bergegas memakainya. Sial sekali baru beberapa meter berjalan, hujan mereda. Kulepas kembali jas hujan itu, melipatnya lantas memeluknya dengan penuh penyesalan. wkwkwk


Posting Komentar

1 Komentar