Siang itu, bagi saya merupakan salah satu siang yang mendebarkan sepanjang hidup. Saya akan menghadiri acara pertemuan filolog pesantren yang digagas oleh Lajnah Turats Ilmi Syaikhona Kholil Bangkalan. Acara itu digelar sekaligus pameran karya-karya serta manuskrip Syaikhona Kholil yang sudah diterbitkan.
Pertemuan itu merupakan salah satu usaha pegiat-pegiat manuskrip pesantren di Jawa Timur khususnya untuk menggalang kesadaran bersama di kalangan pesantren agar mempunyai kepedulian lebih kepada warisan berharga itu. Pasalnya, selama ini ada anggapan umum bahwa manuskrip merupakan ‘jimat’ yang dikeramatkan dan sama sekali tidak tersentuh. Anggapan itu tentu tidak sepenuhnya salah, akan tetapi alangkah lebih baik jika peninggalan tersebut bisa didigitalisasi kemudian dikaji, agar pengetahuan serta ilmu yang terkandung didalamnya tidak ikut lapuk dimakan waktu.
Pengalaman saya dalam urusan manuskrip sebenarnya juga tidak banyak. Terakhir pada 2019 kemarin ketika saya dan teman-teman perpustakaan berniat ingin mendigitalisasi sebagian manuskrip peninggalan kiai Sepuh di pondok, Waktu itu sekalian belajar studi banding pengelolaan perpustakaan di Perpustakaan Pemprov Jatim. Waktu itu keinginan kami, bersambut gayung. Pihak perpustakaan pemprov kebetulan juga mempunyai program penyelamatan dan konservasi naskah-naskah tua di Jawa Timur. klop!
Namun setelah kembali ke pondok saya kecele, ternyata manuskrip-manuskrip itu rupanya sudah pernah didigitalisasi oleh LPAM yang bekerja sama dengan British Library. Naskah itu kini bisa diakses di Link berikut.KLIK INI
Setelah itu saya mencoba membaca dan mengakses manuskrip-manuskrip itu. Buiih sulitnya bukan main. Membaca satu kalimat saja rasanya harus berfikir berjam-jam untuk mencapai maksudnya. Namun, ada kenikmatan tersendiri ketika sudah mengerti apa yang dimaksud. Termasuk dalam pembacaan saya atas manuskrip-manuskrip itu, saya kebetulan menemukan beberapa fakta-fakta menarik. Seperti cerita mimpi kiai Sholeh bertemu dengan KH. Muhammad Nur yang mungkin tak banyak yang mengetahui, Ijazah doa alim ‘instan’ di kitab Kiai Sholeh, dan beberapa catatan-catatan kaki lain yang ‘sangat’ (pakek lima a) menarik. Dan rasanya tidak perlu dan tidak tempatnya jika saya tulis di catatan singkat ini. Tunggu saja di Majalah Langitan atau di Media resmi wkwkwk. Atau kalau tidak sabar monggo diakses sendiri sajalah langsung di perpustakaan digitalnya.
Berbekal pengetahuan minim tentang dunia perfilologian, saya pun pede saja dan bersemangat mengikuti acara ini
Benar saja setelah tegang satu jam perjalanan, membawa motor laki sendirian dari Surabaya ke Madura wkwkw. Sesampainya disana ketegangan itu terobati sudah. Jam 10 tepat saya sampai di lokasi acara. Disana sudah berkumpul banyak sekali tokoh-tokoh yang selama ini hanya saya kenal dan kagumi secara virtual. Ada Mas Ayung Notonegoro, founder Komunitas Pegon dari Banyuwangi, ada Lora Usman Hasan Ketua Lajnah Turats Ilmi Syaikhona Kholil, Ajengan Dr. Ginandjar Sya’ban dari Islam Nusantara Center, Ada Prof. Dr. KH. Mujab Masyhudi, ada Gus Nanal Ainal Fauz, kolektor kitab karangan ulama nusantara terlengkap sepengetahuan saya. Kalau tidak salah sudah mencapai 1200 judul. Kemudian Gus Ichwan dari Komunitas Pecinta Kiai Sholeh Darat (KOPISODA), Gus Doktor Ibnu Fikri KEtua Tanfidz PCINU Belanda dan bebrapa pegiat lainnya. Oh ya satu lagi yang ndak boleh terlewat untuk disebutkan. disitu juga ada Lora Kholili Kholil yang selama ini menjadi inspirasi saya terus menulis kisah dan fragmen unik. Beliau telah mentahqiq beberapa manuskrip karangan ualama nusantara yang hampir hilang.
Tentu pertemuan ini akan menjadi pertemuan penting, dalam perkembangan dunia filolog di Indonesia. Masa depan cerah menanti. Tentu masih dibutuhkan perjuangan panjang. Karena menurut penuturan Dr. Ibnu FIkri di Belanda saja ada banyak sekali manuskrip Indonesia yang harus diselamatkan. Pemerintah Belanda sudah memutuskan untuk memperilahkan kepada pemerintah Indonesia untuk dibawa pulang. Menurut Pak Fikri kalau dijejer Manuskrip itu bisa sampai 13 km. Bayangkan!.
Itu yang di luar negeri, kalau di dalam negeri pun sebenarnya sangat banyak. apalagi banyak sekali pesantren-pesantren tua di Indonesia.
Masih banyak sebenarnya hal-hal yang harus diceritakan dalam kegiatan kemarin. Namun cukup segini dulu sudah harus tayang malam ini tulisan ini. Terakhir saya teringat jokes yang diucapkan Gus Najib ketika memimpin FDG kemarin,
"Uniknya filolog itu, Kalau sama kitab itu semakin tua semakin disayang, tapi kalau sama istri semakin tua semakin” Belum selesai berkata, sudah disambut geer seisi ruangan.
Saya hanya plonga plongo gak relate sama jokes bapak-bapak
2 Komentar
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIdolaku nich
BalasHapus