Merasakan Sensasi Manaqiban di Era New Normal

'Puasa’ tidak melakukan ritual keagamaan semacam tahlilan, maulid dan manaqiban bagi sebagian masyarakat, khususnya bagi kalangan muslim tradisionalis. Nampaknya merupakan hal yang berat. Bagi mereka hal tersebut seakan-akan seperti kebutuhan primer dalam hidup yang harus mereka penuhi. Namun karena adanya pandemi yang sedang mewabah ini, mau tidak mau semua kegiatan tersebut harus diakhiri. Masyarakat pun harus legowo untuk menjalankan ritual keagamaan di rumah masing-masing.

Namun setelah kebijakan New normal digulirkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo. Yang artinya adalah mulai diizinkannya melakukan aktivitas seperti sediakala —namun tetap menjaga protokol kesehatan tentunya. Sontak, secara otomatis banyak masyarakat langsung menjalankan lagi kegiatan-kegiatannya yang selama ini terhenti. Seperti di desa saya, tak perlu menunggu beberapa hari untuk merealisasi kebijakan New Normal itu. Malam usai pengumuman kegiatan tahlilan rutin sudah dijalankan. 

Dahaga ‘spiritual’ yang dirasakan selama berbulan-bulan, nampaknya menjadi motivasi tersendiri. Selain kejenuhan yang dialami selama beribadah ‘mandiri’ dirumah selama masa pandemi. 

Hal tersebut sangat nampak begitu terasa dikala saya mengikuti manaqiban yang rutin digelar di desa saya beberapa waktu lalu.  Begitu saya tiba di lokasi acara, seperti biasa saya harus menyalami beberapa orang yang sudah hadir terlebih dahulu. Muncul perasaan bahagia yang tak terkira dikala kuulurkan salam pada beberapa tetangga. Hal itu cukup beralasan, karena beberapa bulan kami tidak pernah bertemu. Hari raya pun kami tidak saling unjung-silaturrahmi sebagaimana tahun sebelumnya. Jadi momen manaqiban ini sekaligus jadi ajang penyampaian maaf lebaran yang belum tersampaikan. Bahkan beberapa, juga diakhiri dengan adegan pelukan penuh drama yang menandakan pertemuan di forum ini begitu dirindukan.
 
Pembacaan manaqib di waktu semacam ini merupakan salah satu ikhtiar untuk bertawasul berdoa kepada Allah dan memupuk harapan di tengah kondisi yang belum menentu ini. Bukan tanpa sebab tentunya. Pembacaan manaqib atau kisah hidup seorang ulama dimaksudkan guna mendapat barokah dan turunnya rahmat Allah. Hal ini selaras dengan hadits yang menyebutkan:

" عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِينَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ " 
Artinya : "Ketika disebutkan kisah-kisah orang sholeh akan menurunkan rahmat Allah"

Apalagi kekasih Allah yang sedang dibaca riwayat hidupnya merupakan aalah satu punjer ulama. Gelarnya adalah Sulthonul Auliya' —Pemimpin para wali. Kedekatannya dengan Allah sudah tidak diragukan lagi. Bahkan secara tegas dalam manaqib beliau menjamin bagi seorang yang mempunyai hajat pada Allah agar berdoa lewat perantara beliau:

اذا سألتم الله، فاسألوه بي
"Ketika engkau berdoa kepada Allah, minta dan berdoalah lewat perantaraku!"

Manaqib ini merupakan kitab Manaqib yang disusun oleh Syekh Jakfar bin Hasan bin Abdul Karim Al-Barzanji. Seorang ulama yang juga pengarang salah satu kitab maulid populer di Jawa, Maulid Al-Barzanji. 

Kitab Manaqib yang berjudul Lujain al-Daniy fi Dzikri Nubdzatin min Manaqib Quthb al-Rabbani  ini berisi beberapa bagian yang menjelaskan semua sisi pribadi agung Syekh Abdul Qodir al-Jilani. Mulai biografi, kalam hikmah hingga karomah-karomah beliau. 

----------
Dalam majelis ini saya melihat banyak sekali harapan di wajah-wajah para hadirin. Hal itu dicerminkan dengan ekspresi ceria dan optimistis yang nampak dalam wajah mereka. 

Efek 'lokdown' berbulan-bulan sama sekali tidak tampak. Mungkin inilah salah satu kelebihan Majelis Manaqib, dimana masyarakat bisa menuai doa dan harapan. 

Begitu pimpinan majelis membaca satu persatu bagian manaqib ini dengan suara yang sangat merdu. Beberapa diantara kami terlihat khusyuk mendengarkan, sebagian lagi terlihat seperti sedang berinteraksi. Ia seakan benar-benar merasakan apa yang dibaca Qari terasa begitu nyata. Ketika yang dibaca itu adalah nasihat-nasihat maka ia seperti sedang dinasihati dihadapan gurunya. Kala yang dibaca adalah sifat keteladan beliau, sontak ia menggelengkan kepala sambil membaca tasbih tanda kekaguman. 

Melihat itu saya mulai terpengaruh dan ikut memfokuskan diri memahami dan meresapi manaqib tersebut. Benar saja, tak lama setelah itu sang qari' sampai pada bagian yang penuh dengan nasihat Syekh Abdul Qodir al-Jilani.  

Setelah saya resapi begitu dalam ternyata apa yang dikatakan beliau begitu cocok sekali dan relevan dengan kondisi saat ini. 
Seakan-akan Syekh Abdul Qodir al-Jilani hadir langsung di majelis ini untuk mengedukasi para masyarakat yang hadir. 

Syekh Abdul Qodir dalam nasihatnya seakan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sekian lama mengendap dalam hati saya dan masyarakat selama menjalani masa karantina di era pandemi ini. Juga memberikan motivasi atas keterpurukan yang selama ini mendera diri.

Beliau berpesan: 
اتبعوا ولا تبتدعوا، واطيعوا ولا تمرقوا، واصبروا ولا تجزعوا، وانتظرو الفرج ولا تيأسوا واجتمعوا على ذكر الله تعالى ولا تتفرقوا، وتطهروا بالتوبة عن الذنوب ولا تتلطخوا، وعن باب مولكم لا تبرحوا

"Ikutilah Allah dan Rasulnya dan jangan membuat bidah. Bersabarlah dan jangan mengeluh. Tunggulah kemudahan yang akan datang jangan pernah menyerah. Berkumpullah untuk mengingat Allah dan jangan tercerai berai. Bersihkanlah hatimu dengan bertaubat akan dosa yang pernah kau lakukan dan jangan sekali-kali kau kotori. Dan jangan pernah bosan untuk mengetuk pintu Tuhanmu"

Tidak hanya itu beliau juga menjelaskan posisi sebuah musibah dan nikmat bagi manusia. Karena kedua hal tersebut seringkali diposisikan tidak sesuai tempatnya. Kerapkali manusia kurang tepat dalam menyikapinya. Seperti saat pandemi ini, banyak yang menganggap ini sebagai musibah yang begitu berat. Hingga banyak yang ingin segera lepas dan terbebas dari musibah ini dengan instan. Mereka lupabahwa segala sesuatu yang terjadi ini hakikatnya merupakan kehendak Allah SWT. Sehingga Syekh Abdul Qodir al-Jilani juga memberi nasihat:

ولا تختر جلب النعماء  ولا دفع البلوى، فان النمعماء واصلة اليك بالقسمة استجلبتها ام لا. والبلوى حالة بك وان كرهتها .
"Jangan memilih untuk menarik kenikmatan dan menolak bala' atau musibah. Karena sesungguhnya kenikmatan pasti akan sampai kepadamu sesuai bagianmu, baik (sebelumnya) engkau memintanya atau tidak. Dan Musibah juga pasti akan menimpamu walaupun engkau tidak menyukainya" 

Oleh karena itu sikap paling tepat yang harus dilakukan oleh manusia dalam menyikapi hal tersebut menurut Syekh Abdul Qodir adalah memposisikan diri sepenuhnya sebagai seorang hamba. Dan disertai dengan aksi positif untuk menyikapinya sesuai dengan konteks nikmat atau musibah yang kita terima. Beliau menulis:
فسلم لله فى الكل يفعل ما يشاء، فإن جاءتك النعماء فاشتغل بالذكر والشكر، وان جاءتك البلوى فاشتغل بالصبر والموافقة 

"Serahkan saja semua urusan tersebut kepada Allah, karena Dia lah yang berkehendak atas segala sesuatu. Ketika engkau mendapatkan kenikmatan maka sibukkanlah dirimu dengan berdzikir mengingat Allah dan bersyukur atas karunia-Nya. Sedangkan ketika dirimu tertimpa sebuah musibah, maka bersabarlah dan teruslah berusaha mencocoki dan menerima atas apa yang diinginkan oleh Allah SWT"

Sungguh apa yang dikatakan Syekh Abdul Qodir ratusan tahun silam itu sangatlah relevan dengan kondisi kita saat ini. Saat ini tentu kita merasakan nikmat dan musibah itu sekaligus. Musibah karena beberapa diantara kita mungkin saat ini sedang terdampak ekonominya karena wabah ini, atau paling tidak beberapa kegiatan dan rutinitas kita terganggu. Dan disisi lain kita saat ini juga sedang menikmati nikmat-nikmat Allah yang begitu banyak. 

Sehingga, sesuai nasihat Syekh Abdul Qodir al-Jilani diatas hendaknya kita selalu bersabar dan bersyukur serta mengisi sisa waktu kita untuk berbuat positif.
Dan terakhir Syekh Abdul Qodir memberikan closing statement yang  sangat menarik dan tentu mengingatkan kita kembali akan esensi dari sebuah musibah yang kita alami. 

واعلموا ان البلية لم تأت المؤمن لتهلكه وانما اتته لتخبره
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya musibah tidak menimpa seorang mukmin untuk menghancurkannya, akan tetapi musibah itu hanya untuk mengujinya"

Memang pada hakikatnya para ulama tidak pernah mati. Jasadnya saja memang sudah tiada. Namun nasihat-nasihat dan suri tauladan yang mereka contohkan senantiasa hidup abadi.

 

Posting Komentar

0 Komentar