Percayalah, Semua ini Hanyalah Sejarah yang kembali Terulang


إنّ التاريخ يعيد نفسه مرتين, مرة على شكل مأساة, ومرة على شكل مهزلة. وما نراه الآن هو المهزلة
“Ketahuilah sesungguhnya sejarah pasti akan terulang kembali. Pertama kali ia hadir sebagai tragedi, dan ketika ia datang kembali ia hanya komedi. Dan apa yang kita alami saat ini adalah sebatas komedi” –Sinan Antoon Penyair Iraq
Saya pertama kali mendengar kutipan itu adalah berasal dari Mauidzhoh KH. Ali Imron salah seorang kiai murid Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki Mekkah yang mengasuh sebuah pesantren di Parengan, Lamongan.
Namun pada waktu itu, beliau hanya menyampaikan satu frasa awal kutipan diatas. “Sejarah pasti akan terulang kembali.”
Pada saat itu beliau sedang menyampaikan bagaimana seharusnya sikap seorang santri ketika melihat fenomena sosial yang menyangkut urusan fundamental santri. Beliau menekankan bahwa apapun yang terjadi di masa kini pasti sudah pernah terjadi di masa lalu. Lalu apa sikap kita seharusnya? Tidak lain tidak bukan adalah kita harus belajar dari masa lalu itu. Karena apabila di masa lalu sikap yang diambil oleh para pelaku sejarah sudah benar tugas kita adalah meniru dan meneruskan. Namun apabila dalam masa lalu kita menemukan kegagalan ya kita harus mewajibkan diri untuk sejenak belajar dari kegagalan itu.
Nah, dari konsep yang beliau paparkan saya sangat tertarik. Dan bergegas melacak sumber kutipan diatas. Namun, dari penelusuran saya tak satupun saya temukan kutipan itu dalam literature salaf. Justru saya temukan kutipan itu milik Sinan Antoon, seorang penyair dan sastrawan besar Timur tengah berkebangsaan Iraq. Ia juga tercatat sebagai seorang associate professor di Gallatin School of Individualized Study di New York.
Dari sini saya anggap kutipan diatas perlu saya uraikan kembali dalam rangka urun rembug saya dalam menyikapi penyebaran Virus Corona yang begitu mengkhawatirkan ini. Karena sebatas pengamatan saya, grafik yang menunjukkan peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia ini memunculkan reaksi yang beragam dari masyarakat. Ada yang acuh tak acuh, seolah sedang tidak ada apa-apa. Ada pula yang justru sangat parno dan panic tak karuan. Hal ini perlu diberi pemahaman yang baik, karena dalam usaha pemberantasan virus ini pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Semua tergantung pada masyarakatnya mau atau tidak mengawal upaya itu.
Nah, dalam sejarah panjang dunia ini. Tentu kehadiran serangan pandemic semacam covid-19 bukanlah hal baru. Jauh sebelum  dunia mengenal dunia kedokteran tepatnya di abad ke enam terdapat Wabah Yustinianus (Plague of Justinian) (541-542 M) dan wabah Maut Hitam (Black Death) telah menghabiskan sebagian besar penduduk bumi. Selain itu di india juga pernah terjadi wabah Bombay (Bombay Plague) (1896-1897) yang juga menewaskan ribuan orang.
Dalam catatan sejarah Islam pun kita akan menemukan banyak sekali catatan tentang wabah yang mematikann. Semasa hidup rasulullah pun pernah terjadi Wabah Thaun beliau menyatakan sikap isolasi melalaui statemen beliau yang tertera dalam hadits Turmudzi:
ااذا سمعتم با لطاعون با رض فلا تد خلوا ها واذا وقع با ر ض وانتم بها فلا تخرجوا منها (رواه الترمذى عن سعيد)
Jika kamu mendengar tentang tha’un di suatu tempat, maka janganlah kamu memasukinya (tempat itu). Apa bila kamu  (terlanjur) berada di tempat yang terkena wabah itu, maka janganlah kamu keluar darinya (tempat itu) (H.R. at-Turmuzi dari Sa’id)
Hal inilah yang menjadi dasar kebijakan Umar bin Khattab ketika ia mendapat laporan dari Gubernur  Syam bahwa dinegeri itu telah terkena wabah Thaun. Setelah meninjau di perbatasan negara Sayyidina Umar memutuskan untuk kembali ke Madinah untuk menghindari penyebaran yang tak diinginkan.
Begitu pula ketika terjadi wabah Thaun di Mesir pada tahun 833 H. Dalam kItab Fadhlul Maun Fi Fadhli at-Thoun  Imam Ibnu Hajar al-Asqolani menceritakan bahwa ketika wabah thaun sedang melanda, masyarakat terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok memilih tetap berdiam di rumah untuk meminimalisir penyebaran seraya memasrahkan diri kepada Allah ada satu kelompok yang justru membuat semcam perkumpulan di sebuah lapangan untuk melakukan doa bersama. 

Benar saja,  tak berselang lama setelah perkumpulan doa bersama itu tidak sampai sebulan, pasien meninggal  yang sebelumnya hanya mencapai 40 orang meningkat drastis menjadi 1000 orang subhanallah. 
Hal ini tentu menyadarkan kita pada realita yang kita hadapi saat ini. Konteks kejadian di Mesir pada saat itu hamper sama dengan yang kita alami saat ini. 

Dimana di tengah merebaknya virus ini ada sebagian orang yang membawa-bawa agama untuk menolak kebijakan pemerintah menuntaskan Covid-19 ini. Mereka mengembangkan narasi yang kontraproduktif dengan kebijakan negara. Sebagai contoh, MUI jelas telah mengeluarkan fatwa Sholat Jumat di daerah terdampak boleh diganti dengan Shalat Dzuhur. Namun mereka justru menganggap hal itu sebagai tindakan yang menjauhkan umat dari ibadah, dan sangat bertentangan dengan Sunnah nabi untuk meramaikan tempat-tempat ibadah.

Sehingga, sekali lagi mari kita melihat sejarah bagaimana praktek doa massal di Mesir yang bertujuan menghilangkan wabah justru menambah parah wabah yang melanda. Maka  darisitu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam menghadapi sebuah wabah kita tak cukup menggunakan instrumen agama, tapi juga memperhatikan 'fatwa-fatwa' kedokteran yang mu'tabar.

Maka tak heran jika Sinan Anton mengungkapkan sejarah yang terulang sebagai komedi, karena dari situ kita hanya tinggal melihat, mengamati dan ─mungkin tertawa. Untuk kemudian mengambil pelajaran dari sana.

Posting Komentar

0 Komentar