Mengapa Harus Menulis Bahasa Arab?
Sejak awal seminar, saya sebenarnya sudah menyiapkan pertanyaan pada Gus Awis.
Pertanyaannya sederhana saja. Saya hanya ingin menanyakan. Bukankah menulis dengan bahasa Indonesia jauh lebih banyak manfaatnya untuk masyarakat awam?
Toh kalau kita nulis bahasa Arab dari sisi materi hanya santri yang bisa memahami. Kalau dari sisi marketing justru akan sangat sulit untuk memasarkan buku yang 'bahasa'nya bukan bahasa masyarakat. Siapa juga yang mau beli. Kalo Gus Awis sih enak. Punya banyak mahasiswa dan santri. Tinggal dikaji pasti mahasiswa dan santrinya pada beli. Lah kita? Heheheh.
Hal itu lah yang menjadi unek-unek saya. Karena jujur sebagai panitia pelaksana, sejak awal perencanaan acara memang konsep materi hanya mencakup proses dan penyusunan sebuah karya ilmiah dalam bahasa Indonesia.
Tapi pada akhirnya ketika mendekati hari H. Materi yang beliau kirimkan berjudul.
“Bagaimana berkarya dalam Bahasa Arab di Era Millenial”
“Haduh” sambat saya ketika melihat kiriman WA beliau.
“kudu siap dadi muallif Iki arek-arek haha”
Okelah Ndak papa nanti ketika sebelum acara tak matur ke beliaunya untuk menyinggung juga karya bahasa Indonesia.
•••
Setelah menyimak pemaparan beliau ketika acara. Sambil riwa-riwi mengurus kamu eh tamu seminar. Saya bisa menyimpulkan apa yang menjadi motivasi beliau untuk mengkampanyekan menulis dalam bahasa Arab. Sekaligus menjawab pertanyaan saya di awal acara.
Dan hal itu saya simpulkan karena beberapa hal.
Pertama, alasan teknis karena bahasa Arab bersifat lebih permanen. Artinya tidak banyak mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Berbeda dengan bahasa lain.
Beliau mencontohkan, ketika kita membaca buku tafsir al-Azhar karya Buya Hamka dan Tafsir al-Misbah nya Prof. Qurais Shihab tentu kita akan menemukan banyak sekali perubahan bahasa.
Tidak jarang bahkan kita sudah tidak mengenali bahasa itu. Sehingga menulis dengan bahasa Arab akan menjaga keabadian sebuah buku. Hingga terus akan dikaji sepanjang zaman.
Kedua, adalah karena potensi santri berbahasa Arab. Mengenai alasan ini beliau menyampaikan dengan sebuah joke sederhana.
“Dari sekian (santri) ini, mana yang di kotaknya menyimpan kamus al-Munawwir?”
Serempak hampir semua anak mengacungkan tanganya. Tak terkecuali saya.
“Lalu siapa, yang dikotaknya menyimpan KBBI?”
Tak satupun santri yang mengacungkan tangan. Semuanya diam.
Saya pun mengacungkan tangan.
“Saya punya Gus, tapi milik Perpustakaan hehe” jerit saya dalam hati.
Beliau melanjutkan.
“Saya yakin kalian lebih bisa berbahasa Arab daripada berbahasa Indonesia. Kalian paham bahasa Indonesia hanya sebatas bahasa pergaulan.”
“mau bukti?”
“Pasti diantara kalian semua sudah pernah mengkhatamkan mengkaji alfiyah mulai awal hingga akhir kan? Tapi, coba mana diantara yang sudah mengkhatamkan pedoman Bahasa Indonesia mulai awal hingga akhir?”
“Pasti tidak ada” imbuh beliau.
Saya angan-angan betul dua joke beliau itu.
“Ohh ya ya, benar juga. Padahal setiap hari saya dan teman-teman santri selalu bersinggungan dengan kitab-kitab berbahasa Arab, bahkan kalau teman-teman yang tinggal di asrama Darut Tauhid pasti setiap hari berbicara dengan bahasa Arab. Seharusnya mudah nulis berbahasa Arab”
Yah tapi ingat kalimat saya diatas itu 'seharusnya'. Jadi kalau kenyataanya enggak ya mau gimana lagi heheh.
Ketiga, karena kultur ulama yang selalu berkarya dalam bahasa Arab.
Mau tidak mau. Kultur menjadi hal penting dalam dunia pesantren. Hal ini bisa kita lihat dari ada idiom Ushul fiqih “al Adah muhakkamah”
Nah, mengenai budaya menulis ulama dalam bahasa Arab ingatan saya melayang jauh pada pengajian balagh ramadhan di Sarang bersama KH.Maimoen Zubair.
Beliau pernah bercerita. Kira kira begini.
“Ulama-ulama ngalim iku, akeh seng teko ajam (non Arab). Tapi ngunu kui nek ngarang Yo gae bahasa Arab Ora gae bahasa ajam. Dadi santri iku Yo kudu iso bahasa Arab.”
*Kalau salah mohon dikoreksi enggih para pembaca yang Budiman.
Jadi kultur ulama, walaupun ia berasal dari luar arab tapi tetap kalau mengarang pasti menggunakan bahasa arab. Contoh, imam Bukhori guru besar Hadis dalam dunia Islam. Ia berasal dari negeri bukhoro atau Uzbekistan sekarang. Sangat jauh dari pusat Islam waktu itu. Imam Ghozali, dan masih banyak lagi.
Kalau yang dari Indonesia sendiri juga banyak. Di Tuban kita kenal Mbah Fadhol Senori, syekh Ihsan Jampes, KH. Hasyim Asy’ari. Dan masih banyak lagi.
Untuk itu, dengan alasan iniu beliau mengajak dan terus mengkampanyekan untuk menulis dengan bahasa Arab.
0 Komentar