Alhamdulillah
hari ini tuntas sudah proyek akhir dari 4 seminar besar yang saya canangkan
selama periode kepengurusan ini. Jujur ada perasaan senang, sedih, terharu,
bangga dan entah apalagi. Untuk yang sedih dan terharu ndak perlu saya
ceritakan disini ya hehe. Karena jujur di seminar yang terakhir ini
narasumber yang didatangkan bukanlah main-main.
Beliau adalah
Katib Syuriah PBNU yang barusan dilantik beberapa bulan yang lalu. Yakni al-mukarrom
Dr. KH. M. Afifuddin Dimyathi Pengasuh asrama Hidayatul Quran PP. Darul Ulum
Rejoso, Peterongan, Jombang.
Berarti sudah
ada 2 jajaran Syuriah PBNU yang pernah mengisi di forum Perpustakaan Langitan.
Gus Baha’ dan Gus Awis. Okeh fergusoo Alhamdulillah.
Dan untuk Gus
Awis sendiri, tema yang dipilih teman-teman adalah mengenai Dunia Ta’lif atau
menulis. Tau sendiri kan, betapa banyak karya beliau yang telah dipublikasikan
baik berbahasa arab ataupun Bahasa Indonesia. Bukan hanya itu, selain menulis
buku beliau juga sering menulis tulisan ringan di Media Sosial pribadi beliau,
yang tak jarang tulisan tersebut langsung menjadi keroyokan rame-rame untuk
dipublikasi ulang beberapa website islam Indonesia seperti alif.id, islami.co
dll.
Nah, dalam
acara tadi banyak sekali hal menarik dalam penjelasan beliau. Yang ndak
semuanya bisa saya catat. Maklumlah, selain mendengar penjelasan beliau,
terkadang juga saya disibukkan untuk beberapa urusan acara sehingga ndak bisa
100 persen mendengarkan semua materi beliau.
Nah untuk kawan
yang barangkali ingin mendengar audio rekaman bisa download lah di sini.
Namun ada
beberapa hal yang berhasil saya catat baik-baik dalam ingatan.
Pertama,
mengenai tips beliau dalam membagi waktu antara menulis dan kegiatan lain.
Beliau bercerita bahwa seorang penulis pasti akan menghabiskan banyak waktu
untuk menyelsaikan karyannya. Nah, disisi lain juga ia dituntut untuk
melaksanakan berbgai kegiatan dan tugas yang menjadi kewajibannya. Sehingga
menulis dengan ideal akan sangat sulit disela-sela kesibukannya.
Sehingga
beliau membeberkan trik beliau dalam memberkahi waktu.
“Cara agar
waktu kita (menjadi) berkah adalah dengan memperbanyak membaca al-Quran”
Loh kok bisa?
Bukannya ketika kita menyempatkan untuk membaca al-Quran waktu kita justru
berkurang? Pertanyaan itu hanya sempat terlintas di benak saya sebelum beliau
melanjutkan penjelasannya.
“Ya, memang
ketika kita membaca dalam sehari satu jam misalnya, itu seakan-akan kita
kehilangan satu jam. Namun, sejatinya kita sedang menambah waktu kita
berjam-jam.” Jelasnya.
Itulah yang
mungkin menjadi salah satu kunci beliau dalam berkarya selama ini. Beliau punya
wiridan atau rutinitas untuk selalu mengkhtamkan al-quran seminggu sekali.
Subhanallah. Kalo kita mah satu hari membaca itu aja udah
alhamdulilah.
Saya ndak bisa membayangkan dengan kesibukan beliau mengasuh
pesantren, ndosen di UINSA, UIN
Malang juga PBNU kok bisa-bisanya menghasilkan karya sebanyak itu. Kalau
bukan barokah al-Quran ya apalagi.
Sehingga
benar ada maqolah
بركة الوقت ببركة القرأن
“Barokahnya waktu itu sebab barokah (pembacaan) al-Quran”
Kedua,
mengenai statement beliau tentang pentingnya karya pertama. Beliau menyampaikan
ini ketika sesi dialog interaktif. Dimana salah seorang peserta menyampaikan
sebuah pertanyaan mengenai rahasia dibalik produktifitas beliau dalam menulis,
apakah ada tuntutan khusus dari kedua orang tua?.
Beliau
menjawab ringan.
“TIdak. Sama
sekali tidak”
“Namun
dibalik ini, saya menyadari ada motivasi yang luar biasa setelah karya
pertama.”
Yah, itulah
poin yang saya tangkap. Yakni pentingnya karya pertama. Karena, menurut cerita
beliau setelah menyelesaikan karya pertama yang berjudul “mawarid al-bayan
fi Ulum al-Quran” muncullah sebuah dorongan rasa untuk kembali menyusul
karya kedua. Walaupun dalam karya pertama banyak terdapat kesalahan, Tapi ndak
papa. Karya pertama tetap direvisi lantas kemudian mmenyusun sebuah karya
kedua.
Tentu, setlelah karya kita bisa
terpublikasi. Hingga dibaca dan diakses banyak orang. Pastinya dalam diri kita
akan muncul rasa bangga dan puas. Namun tak berhenti sampai disitu setelah ada
rasa bangga biasannya disusul sebuah motivasi untuk membuat karya selanjutnya. Hal
itulah yang mendorong beliau untuk terus berkarya hinga sekarang.
Satu hal lagi yang menjadi catatan saya pada kesempatan
Seminar kemarin, yakni ketika ingin menyusun sebuah karya sering-seringlah
untuk menyampaikan ide tersebut pada orang lain. Hal itu, menurut beliau karena
dua hal.
Pertama, agar kita punya tuntutan untuk menyelesaikan karya yang telah kita
sampaikan pada orang lain tadi. Karena, biasannya orang yang telah kita kabari
mengenai rencana karya kita tentu akan menanyakan perkembangan karya kita. “Piye
wes mari ta?”. Yang akan membuat kita malu untuk santuy dalam
menyelsaikan karya. Bukan hanya itu, biasannya mereka juga akan memberikan
motivasi semangat kepada kita agar terus konsisten menjalankannya.
Kedua, karena setelah kita menyampaikan ide kita kepada orang lain, lebih-lebih
kepada para guru atau masyayikh. Bukan tidak mungkin, kita akan mendapat
masukan dan kritikan mengenai rencana kita. Mungkin kita juga akan diberikan
beberapa refrensi yang kita belum punya yang bisa menambah kesempurnaan karya.
Mungkin hanya itu sebagain yang bisa saya tulis di blog ini.
Terima kasih.
Selamat membaca!.
2 Komentar
Lanjutkan mencerdaskan anak bangsa bung
BalasHapusrinduuu kamu hasyim
BalasHapus