Perihal Makan

Dari kecil saya dan mungkin kebanyakan anak Indonesia dididik untuk makan tepat waktu. 3 kali sehari dan harus banyak —kalo ini sendiri hehe—. Alasannya sederhana biar gak sakit, biar gak kena maag, biar sehat. Kadang ada yang ditambahin lagi alasannya sambil berfantasi ke masa lalunya

"Kowe wes enak Cong kari mangan, biyen pake pas jaman Londo ewoh kabeh. Mangan gaplek gak bergizi koyo Saiki"

Dan saya termasuk yang paling bersemangat mengamalkan ini —karena memang hobinya makan—. Dogma ini begitu kuat melekat dalam diri saya. Walaupun saya terbilang kurus, saya tak kalah makannya dengan orang gemuk sekalipun hehehe . Sesuai dengan apa yang telah didoktrin pada diri saya. Saya  mempunyai keyakinan bahwa dengan makan tepat waktu dengan porsi yang cukup —bahkan banyak. Bisa menyehatkan. Pokok prinsip satu jangan sampai lapar nanti maag. 


Entah pemahaman seperti itu kalau ditinjau dari sudut pandang medis benar atau tidak saya tidak tahu karena saya tidak kompeten dalam hal tersebut.
Tapi itu dulu, sebelum masuk di Pesantren. Setelah masuk dalam dunia pesantren pemahaman tersebut mendapatkan antitesisnya. Di pesantren sangat dianjurkan untuk menyedikitkan makan. Dan tentu saya tidak bisa langsung bisa menerima itu. Berbagai alasan saya kemukakan untuk menolak hal tersebut. Nanti kalo sakit gimana? Makanan kan untuk kesehatan? Masak harus dikurangi? Dan berbagai alasan  lainnya.

Dan akhirnya penjelasan itu datang dengan sendirinya. Melalui dampar ngaji, dengan tulusnya, setiap hari beliau para Masyayikh —Athoolallahu baqoouh. Mendidik memberikan pencerahan-pencerahan ilmu kepada saya dan santri lainnya.
Dalam suatu kesempatan beliau menceritakan ada seorang alumni yang usianya sudah sangat tua —mungkin usia 100-an— tapi masih bisa beraktifitas seperti layaknya anak muda. Dan beliau menunjukkan resepnya. Yaitu selama hidupnya ia tidak pernah memakan makanan yang bernyawa dan tidak akan makan kecuali sangat lapar, ketika makan pun tidak pernah sampai kenyang. 

Baru merasakan enaknya makanan itu sedikit, langsung dilereni makannya. Itulah yang membuat beliau tetap aktif hingga usia tua.
Cerita ini sungguh menggugah dan menggoyahkan keyakinan saya selama ini. Bahwa untuk menuju sehat gak harus makan banyak. Justru harus bisa  mengendalikan makan. Selain itu, seiring berjalannya waktu dalam literatur-literatur klasik yang saya baca juga menunjukkan hal demikian. Salah satu yang paling tegas adalah Imam Ghozali. Beliau menyebut Makan sampai kenyang merupakan bidah yang pertama kali semenjak wafatnya nabi. Karena memang dalam kehidupan Nabi selalu identik dengan lapar, Bahkan seperti yang kita tahu Nabi Muhammad sampai mengikat batu di perutnya untuk menahan lapar.

Tapi sampai saat ini saya masih saja suka makan. Hehehe  berat memang, apalagi kalau dipesantren makannya senampan 6-7 orang. Biasanya sebelum makan, untuk menghindari 'eksploitasi liar' makan melebihi teritorinya biasanya ada guyonan
"Nek mangan Alon Alon ae, aku ae seng banter" wkwk gak lucu 樂
Dan ketika di tengah-tengah pertarungan terdapat satu orang gugur, padahal nasinya masih banyak. Langsung ada yang menimpali.
"Lapo leren?"
"Emm, wes warek" jawabnya sambil memegang perut
"Kok gak Ket mau lerene hahaha" 
****
Tapi tak apalah makan banyak, yang penting diniati untuk kekuatan menuntut ilmu dan beribadah. Kan innamal a'malu binniyyaat hehehe (jiah pintere Gilak dalil)
Sebelum tak akhiri tulisan gak jelas ini, saya tertarik dengan apa yang diungkapkan oleh HOS. Cokroaminoto guru dari Bung Karno yang hampir sama esensinya dengan apa yang dicontohkan Mbah yai diatas.
"lereno mangan sedurunge warek"
Saya menemukan ungkapan ini di bukunya "Islam dan sosialisme". Dan yang menarik disini adalah filosofi dari ungkapan tersebut. Mengapa harus berhenti sebelum kenyang? Beliau menjelaskan bahwa dengan makan sampai kenyang itu menunjukkan keserakahan seseorang. Dan ketika seseorang sudah terbiasa serakah dalam urusan 'kecil' makan misalkan. Maka dalam urusan yang lebih besar tidak menutup kemungkinan juga serakah. Realita di lapangan yang membuktikan hal tersebut. Banyak diantara pejabat kita yang tersandung kasus korupsi, ada indikasi hal tersebut sudah ia biasakan sejak kecil. lewat kebiasaan remeh; makan berlebihan hingga keblanjur gilak duwik berlebihan.

Posting Komentar

1 Komentar