Foto Intizar Ketika Habib Syech-an Gresik 2015 |
Mumpung masih bulan maulid, jadi pengen nulis tentang Nabi Muhammad, dengan pengetahuan saya yang dangkal ini. Sebenarnya belum pantas bahkan sangat ndak pantas jika lisan yang penuh dosa ini, atau tangan yang penuh maksiat ini. Menulis atau berbicara tentang kesucian sang nabi. Ibarat seorang bajingan yang ingin bicara tentang ratu. Tahu apa dia, apa pentingnya. Justru akan menurunkan derajat sang ratu.
Tapi apalah, untuk Nabi saya beri'tikat baik. Saya percaya, Nabi Muhammad sangat cinta akan umatnya. —bahkan seburuk saya. Membicarakan tentangnya mungkin justru akan membantu mensucikan atau paling tidak membersihkan noda di hati saya. Toh, saya juga mengimani dan mengamini apa yang dilakukan imam al-Bushiri, pengarang Burdah itu. Ketika masa mudanya habis untuk hal yang —menurut saya lumrah dilakukan remaja pada waktu itu; bersyair.
Ia merasa, berdosa. Kemudian mengalihkan perhatiannya dan mencurahkan waktunya untuk memuji dan menceritakan pribadi rasul. Sebagaimana ia abadikan dalam Burdahnya:
ومنذ ألزمت أفكاري مدائحه # وجدته لخلاصي الخير ومستلم
"Setelah kufokuskan diriku untuk bersholawat, kudapati diriku mendapatkan kebaikan."
ومنذ ألزمت أفكاري مدائحه # وجدته لخلاصي الخير ومستلم
"Setelah kufokuskan diriku untuk bersholawat, kudapati diriku mendapatkan kebaikan."
Lantas kemudian, sakit. Begitu parah, sehingga membuat ia hanya bisa berbaring tak berdaya diranjang. Namun, disaat itulah keajaiban datang. Malam itu Nabi datang, dengan membawa selendang Burdah. Pertanda ia diberi kesembuhan, dan yang paling penting syairnya begitu nabi sukai.
Berangkat dari pengalaman Imam Bushiri tadi, mungkin setelah kurampungakn tulisan ini nanti malam pas tidur. Nabi datang aamiin. Hehehe tak semudah itu Ferguso. Boro-boro nabi, wong pujaan hatimu ae Ndak pernah menemuimu di mimpimu. Apalagi nabi yang hanya kau kasih porsi sekian dalam hatimu hehehe. Yowes Leh isek ngeyel pengen ngipi, ya mbok cintamu iku forsiren gae nabi tok Ojo liane. Oke Ferguso!!
Oke itu sekedar pembukaan.
Intinya, saya mau bahas tentang cinta. Untuk nabi tentunya. Bukan mantanmu mbloo.
Yah. Sepanjang pengamatan saya terhadap ulama mengenai kecintaan mereka terhadap nabi. Saya menemukan fakta menarik, bahwa cinta mereka itu nyata. Bukan hanya pengakuan belaka. Manifestasi cinta mereka, dibuktikan dengan Amaliah sehari-hari. Ra kitungan olehe sholawat. Ribuan bahkan ratusan ribu sholawat terlantur tiap harinya. Dan konsisten. Maka, jangan heran kalau banyak diantara para ulama yang bertemu nabi baik dalam mimpi maupun yaqodhotan atau melek-melekan. Saya tak perlu menyebutkannya disini banyak sekali. Bisalah sampeyan cari di buku-buku biografi atau paling tidak tanya mbah google lah. pasti beliau tahu.
Yang menarik bagi saya mengenai fakta cinta nabi adalah bait dari Imam Bushiri dalam Burdahnya. Beliau menegaskan
وكيف تنكر حبا بعد ما شهدت # به عليك عدول الدمع والسقم
"Bagaimana bisa engkau mengingkari akan cintamu, sedangkan kejujuran air mata dan kesedihanmu menunjukkan itu"
Pada bait ini Imam Bushiri menggunakan khitob kamu. Tapi sebenarnya mungkin beliau menceritakan dirinya sendiri. Disitu Imam Bushiri tidak secara langsung mengaku cinta nabi. Bahkan sempat mengingkarinya. Masak iya tumbuh rasa cinta dalam diriku? begitu kira-kira. |Namun beliau Ndak bisa membohongi rasanya sendiri. Cinta itu sudah ada, cinta itu sudah membara dalam dadanya.
Kerinduan akan kekasihnyalah yang membuat ia jatuh sakit tempo hari. Air matanya tak hentinya menetes, meneteskan kerinduan yang begitu mendalam. Ia tak pernah mempublikasi atau mendeklarasikan diri sebagai "pecinta" namun dengan sendiri telah mempunyai "cinta itu.
Lah, kalau kita coba pahami bait ini dengan metode mafhum mukholafah —pemahaman sebaliknya. Fakta yang kita peroleh dalam keseharian kehidupan kita akan berbeda. Dimana saat ini, saya dan kita lebih sering mengaku mencintai namun nol dalam aksi. Kita sering mengikuti maulid nabi, namun posisi nabi dalam hati tak lebih hanya sekian persen dari yang lain. Apakah itu namanya cinta?
Lantas apa barometer sesungguhnya untuk mengukur tingkat kecintaan kita terhadap nabi? Apakah keaktifan kita dalam mengikuti majelis maulid? Apakah hanya dengan menyumbang sekian untuk peringatan maulid?
Hal paling remeh dan mendasar tentu adalah sudahkah kita mengenal Nabi? saya sendiri pernah mengalami kejadian yang sangat memukul diri saya sebagai seorang santri. ketika saya mengikuti maulid di kampung. Kebetulan ada sesi "tanya jawab berhadiah". Ketika memasuiki pertanyaan ke sekian kok saya tidak tahu jawabannya. Padahal seingat saya itu mudah. Anak-anak waktu itu juga dapat menjawab dengan mudahnya. sepulang dari situ saya merasa sangat malu. Sebagai santri yang sudah mondok beberapa tahun pertanyaan semudah itu saja lupa. Akhirnya saya buka kembali kitab siroh yang saya punya mulai Nurul yaqin hingga siroh Ibnu Hisyam.
Ah, kenal saja tidak? Gimana mau cinta? Mumpung Masuk Bulan Maulid yuk pedekate.
0 Komentar