Akhirnya hamba nyadar, karena hanya berstatus tamu tak diundang. Kalau istilah pondoknya
وجوده كأدمه
Ada dan ketidakhadirannya sama sekali tak berpengaruh. Eh hamba tiba-tiba teringat janji dengan Gus Muhammad untuk membantu acara. Hamba menuju ke belakang menemui Gus Muhammad untuk ikut membantu apalah untuk acara ini. Kamera, hamba kasih temen temen Jam'iyyah. Dan yes. Ternyata ditugasi nyuci talam dan piring. Ashiap. Berapa toh talamnya pikir hamba. Masih banyak di Langitan ketika Haul.
وجوده كأدمه
Ada dan ketidakhadirannya sama sekali tak berpengaruh. Eh hamba tiba-tiba teringat janji dengan Gus Muhammad untuk membantu acara. Hamba menuju ke belakang menemui Gus Muhammad untuk ikut membantu apalah untuk acara ini. Kamera, hamba kasih temen temen Jam'iyyah. Dan yes. Ternyata ditugasi nyuci talam dan piring. Ashiap. Berapa toh talamnya pikir hamba. Masih banyak di Langitan ketika Haul.
Ternyata banyak juga, ketika selesai ramah tamah hamba berkeliling aula —tentu sudah ganti pakaian. Mengambil talam atau nampan yang sudah selesai dimakan para tamu. Sambil sesekali memperhatikan kamu eh tamu.
Tapi hamba tidak sendiri, ada beberpa orang yang sudah stand-by di tempat cucian. Tapi agak aneh. Masak korah-korahya pake jubah sih. Berjenggot juga. Setelah kutanyakan Gus Muhammad itu adalah Jahula/Jamaah Tabligh. Eh. Kok bisa. Pikirku
“ya ancen Jahula Nang kene iku ngaji Nang Abah seminggu pisan. Makane, Iki pondok Ono acara Yo milu ngewangi.”
Ternyata memang semua lini kepanitiaan kebanyakan dari Jahula selain juga dari santri setempat. Bahkan di dapur hamba bertemu koki dari Jahula juga. Sedikit lucu, badannya besar mirip sumo. Berpakaian jubah sambil memegang Sutil. Peh Ra Pakat. Itu, koki
Dan yang masih mengganjal pikiran hamba pada saat itu gimana bisa kaum jenggot seng biasa ngafir-ngafirke, bidah-bidahke ko mati-matian berjuang untuk acara kaum santri-nahdliyyin. Memang, dalam benak hamba —dan mungkin kebanyakan orang awam. Akan menjustifikasi golongan ini dengan stigma negatif. Hal itu dikarenakan beberapa hal.
jahula dikenal sebagai golongan aktivis dakwah yang militan. Kegiatan nya berdakwah dari masjid ke masjid. Dari satu kota ke kota lain. Tidak mengandalkan donatur. Mereka mandiri dan independen membawa bekal sendiri dan alat masak sendiri, tempat tinggalnya pun hanya masjid.
Nah, yang membuat hamba dan orang lain men-stigma negatif golongan ini adalah, ada sebagian yang hanya punya semangat dakwah yang tinggi, semangat keislaman yang tinggi. Namun tidak didasari ilmu yang mumpuni. Sehingga, apa yang disampaikan nya tidak sesuai dengan ajaran nabi. Stereotip golongan Jahula tipe ini hampir mirip dengan salafi-wahabi.
Selain itu, ada sebagian juga yang punya militansi dakwah yang tinggi, namun abai atas kewajiban yang seharusnya jadi prioritasnya, yakni menafkahi keluarga. Dengan tendensi memenuhi panggilan dakwah ilahi.
Ya memang tidak semua jahula atau JT seperti itu, saya yakin jauh lebih banyak yang positif. Buktinya ini teman korah-korah saya ini. Beliau entah siapa namanya —ndak sempat kenalan karena saking asiknya ngobrol dan korah-korah— asli wong Kediri. Beliau bercerita, ia telah pernah berdakwah mulai Jakarta, Palembang bahkan Pakistan. Peh Hebat ya.
Katanya, "tantangan dakwah di setiap kota itu beda-beda mas". Pernah harus berhadapan dengan preman-preman Palembang yang euh kerasnya tapi tetap dihadapi dengan ramah dan santun. Bahkan, pernah juga ia berhadapan dengan salah seorang artis ibukota —yang entah saya lupa namanya. Dan akhirnya sukses menuntun kembali ke jalan-Nya. Wiih subhanallah. Kalo hamba mah dakwahin diri sendiri aja beratnya minta ampun.
"Capek mas?" Idih ketahuan hamba habis ngongkek geger. Langsung disamperin.
"Eh enggak pak" sambil Benerin posisi sok kuat.
"Eh enggak pak" sambil Benerin posisi sok kuat.
"Gini mas tak kasih tips hebat. Jangan khawatir kalau capek-capek karena dakwah, karena Allah itu pasti Allah tahu. Habis ini setelah selesai, kamu mandi trus sholat 2 rokaat, langsung doa minta sama Allah pasti kabul percaya."
"Enggih siap pak"
Subhanallah hamba langsung merasakan kesejukan tiba-tiba mendengar kalimat terakhir bapak Jahula tadi. Entah. Ada energi apa. Pokonya hamba termotivasi atas perjuangan dakwahnya.
Hamba jadi teringat tulisan dari pak Dahlan Iskan di rubrik hariannya di Jawa Pos "Di's Way" yang menjadi langganan bacaan hamba di pesantren. Mengenai kehebatan dakwah JT ini. Walaupun penampilannya terkesan —maaf 'ekstrim'. Dengan jenggot dan celana cingkrang. Namun sebenarnya ia begitu damai. Terbukti perkumpulan tahunannya selalu ramai. Di Indonesia saja yang berpusat di Temboro, Magetan atau Karawang. Bisa menembus puluhan ribu orang. Yang menurut cerita bapak Jahula tadi kalau korah-korahya bisa berhari-hari karena kedatangan tamu yang Tak ada hentinya. Belum lagi ijtima internasional JT yang berpusat di Lahore Pakistan dihadiri hampir 2 juta Orang. Bisa kebayang gimana banyaknya.
Dan hamba berkesimpulan, jangan percaya begitu saja atas persepsi di lingkungan anda. Sebelum anda tabayun dan tahu sendiri faktanya. Fakta Jahula yang saya temukan di Kediri ini semakin menegaskan bahwa ia adalah contoh dakwah yang baik. Asal dilandasi dengan ilmu. Karena dakwah tanpa ilmu akan sia-sia.
Mengutip tulisan pak Dahlan.
"Banyak yang salah sangka. Terhadap tampilan pakaian dan jenggot anggota Jamaah ini. Padahal mereka dikenal kelompok yang sangat damai. Sama sekali tidak pernah terlibat kekerasan.
Dunia memang sering salah sangka. Di mana saja."
"Banyak yang salah sangka. Terhadap tampilan pakaian dan jenggot anggota Jamaah ini. Padahal mereka dikenal kelompok yang sangat damai. Sama sekali tidak pernah terlibat kekerasan.
Dunia memang sering salah sangka. Di mana saja."
0 Komentar