Oke baik saya awali tulisan ini dengan kutipan yang hamba dapat dari teman dari Gus Hilmi, putra ketiga Yaitu Tolhah Hasan. Yang kebetulan tadi barengan ketika sowan Gus Hilmi. Begini kutipannya
“Kecerdasan manusia itu ketika ia melakukan”
“Kecerdasan manusia itu ketika ia melakukan”
Kenapa ini menarik bagi hamba. Karena belum lama ini, memang hamba sedang dihadapkan dengan pilihan yang berat. Juga sedang menghadapi masalah besar dengan diri hamba sendiri. Bukan dengan orang lain ya, apa itu? Yah, krisis komitmen. Ketika melakukan, merencanakan suatu hal. Hamba lebih banyak berpikir, merencanakan, berangan-angan. Sedikit untuk actionnya —talk more do less. Seperti kemarin sebagai ketua Perpustakaan saya merencanakan hal-hal besar untuk tahun ini. Target hamba tinggi sekali, termasuk diantaranya mulai menata manajemen profesional. Tapi apa, visi itu hanya mengambang di angkasa. Tak pernah membumi untuk hamba laksanakan. Wong baru rencana dekat awal untuk optimalisasi promosi aja molor. Gitu boro-boro mau datangkan Kang Abik di seminar mendatang. Bangun dulu wooyyy.
Jadi sebenarnya justru yang harus hamba prioritas kan saat ini adalah aksi nyata. Bener bener serius menjalani program itu. Kalau dalam kehidupan Yai Tolhah adalah “totalitas dalam sesuatu”. Seperti ketika beliau merintis UNISMA, Masjid Sabilillah. Yang benar-benar beliau perjuangkan hingga akhir.
Itu poin pertama, lalu untuk pilihan itu. kemarin hamba mendapatkan tawaran untuk menjadi redaktur Majalah Langitan. Pilihan yang sangat berat, antara iya dan tidak. Kenapa berat? Yah karena pertama itu tugas berat menjadi jurnalis yang membawa nama besar Langitan. Dua, karena kualitas tulisan hamba yang bisa dikatakan masih tergolong 'pemula'. Tiga, sifat alami hamba yang suka nunda-nunda pekerjaan heheh. Jadi hamba khawatir akan konsistensi hamba ketika sudah terjun disitu.
Sementara di sisi yang lain passion hamba adalah di dunia literasi. Membaca terutama. Kalau menulis baru belajar sih. Sehingga berat juga untuk nolak. Namun akhirnya hamba memilih untuk bersedia. Dan perjalanan hamba ke Malang kali ini juga dalam rangka tugas wawancara pertama. Alasan menerima tawaran tersebut sih setelah melewati banyak pertimbangan dan istikhoroh. Dari sekian keberatan yang telah hamba kemukakan diatas. Yang membuat hamba akhirnya menerima adalah. Satu, memang ini passion saya. Dua, hamba teringat Dhawuh Yai Ubed yang bunyinya begini. “kullun muyassarun lima khuliqo lahu” —semua akan dimudahkan menuju sesuatu yang sesuai dengan tujuan ia diciptakan. Dan mungkin inilah dunia hamba, sejak awal mondok hamba sudah masuk di dunia perpustakaan literasi. Tiga, Hamba juga teringat cerita di Negeri Lima Menara —novel yang pertama kali hamba baca dalam hidup. Yakni Alif yang semenjak di pondok Darussalam sudah aktif di dunia jurnalistik. Ketika ia di UNPAD dihadapkan pada pilihan yang sama dengan hamba dan akhirnya memilih untuk menekuni dunia ini. Karena ia merasa bahwa inilah dunianya. Dan rasanya setelah mendengar kutipan diatas tadi. Rasanya semakin memantapkan hamba di sini.
Kalo analogi yang beliau sampaikan adalah dua orang yang sama sama ingin belajar nyetir. Yang satu langsung praktek dan yang satunya hanya belajar teori mengemudi.
“Kira-kira mana yang lebih cepat bisa?” ujarnya
Ya tentu yang langsung praktek lah. Walaupun toh ia lebih beresiko untuk kecelakaan. Tapi ia punya peluang bisa yang lebih besar dari hanya belajar mengamati. Itulah poinnya. Hamba harus memperbanyak praktek. Mencoba, survive, dan berjuang untuk hal ini.
Loh kok malah curhat. Padahal tulisan ini sebenarnya mau nulis catatan perjalanan Di Malang ini. Tapi tak apalah. Wes kadung.
Perjalanan ini tujuan utamanya adalah menggali informasi mengenai almarhum Prof. KH. Tolhah Hasan pada keluarganya. Sebelumnya, saya dulu ketika kelas 9 SMP pernah kursus Bahasa Inggris di Singosari tepatnya di Indocita foundation. Ketika itu, lokasinya bertempat di SMK plus Al-ma'arif Singosari. Itu sekolah yang memadukan kurikulum kejuruan dan pesantren. Waktu itu hamba terkagum-kagum dengan sekolah itu. Bangunannya besar, fasilitasnya jos. Dan program yang tertera di pamfletnya yang membuat siapa saja ingin menyekolahkan anaknya disitu waktu itu. Hamba sendiri lupa gimana persisnya pokoknya kesan hamba ‘waw skali’. Yang kini hamba baru tahu kalau itu lembaga rintisan KH. Tolhah Hasan.
Itulah salah satu inovasi beliau di bidang pendidikan yang hamba rasakan. Walaupun hanya menikmati bangunannya hehehe sebagai tempat kursus. Tapi hamba merasakan sentuhan tangan dingin. Beliau dalam hal pendidikan yang kini dirindukan oleh semua pihak yang merasa kehilangannya. Yah, selain itu banyak sekali 'karya beliau' dalam pendidikan yang diwariskan pada semua pihak. Diantaranya UNISMA —karena beliaulah perintisnya. Masjid Sabilillah Malang, Yayasan Al Ma’arif Singosari yang mempunyai unit pendidikan mulai TK, Sd, SMP hingga SMK. Dalam hal pemikiran, beliau merintis pendidikan karakter yang kini diadopsi Mendikbud sebagai kurikulum nasional. Banyak juga karyanya dalam bentuk tulisan yang telah diterbitkan.
Menurut penuturan putrinya memang hidup beliau banyak diwakafkan dalam hal pendidikan.
Eh sudah dulu pala ane pusing Ndak kuat dinginnya malang. Kapan kapan dilanjut lagi. Dadaaaaaa
0 Komentar