Belajar Bahtsul Masail

Setelah gagal studi banding di Perpustakaan Pemprov Jatim di detik-detik akhir keberangkatan. Saya kira liburan maulud kali ini, hanya kuisi dirumah. Namun, ternyata ada tawaran menjadi delegasi Bahtsul Masail se Jawa-Madura di PP. Daruttauhid al-Hasaniyyah Senori, Tuban.
Tentu tawaran berharga itu ndak akan saya tolak, wong kalau hari aktif belum tentu saya yang berangkat mengingat banyak para singa musyawarah seangkatan saya. Sedangkan saya ketika bahtsul masail lokal di pondok selalu menjadi juru tulis, notulen saja. Tak lebih.
Sebagai pemula di Bahtsul Masail luar, terus terang saya minder. Apalagi mendengar nama besar pondok salaf lain; Sarang, Sidogiri, Lirboyo, Ploso. Ngeri. Namun, bermodal niat belajar dari mereka tak wani-wanikke budal. Istilahe arek-arek "ijen tatak bolo pengeran". Hehehe. Toh tujuan dari Bahtsul masail adalah mufakat. Mencari titik temu jawaban melalui khazanah ulama salaf. Bukan ajang, adu kehebatan, adu keilmuan apalagi adu jotos. Ndak sama sekali.
Terbukti, sejak kami semua para delegasi bertemu untuk pertama kalinya. Suasana kekeluargaan sangat saya rasakan. Saling tanya, sharing, sampai obrolan ringan sebagai pembuka sebelum masuk jalsah pembahasan.


Memasuki jalsah pembahasan, para delegasi mulai mengeluarkan suaranya. Mengemukakan pendapatnya. Dan saya sangat mengapresiasi kekritisan mereka, sejenak melegakan batin saya. Karena selama ini banyak yang menganggap santri sebagai kaum tekstualis kolot. Hari ini saya membuktikan itu.
Sebagai contoh, ketika membahas polemik bendera tauhid. Saya dan tim dari awal sepakat untuk memebenarkan tindakan banser  membakar bendera dengan argumen bahwa tindakan tersebut dilakukan karena untuk melindungi dan mendukung pemerintah Indonesia yang telah mencabut kelegalan ideologi HTI di Indonesia. Seprlerti  tindakan nabi yang pernah melakukan pembakaran Masjid dziror, juga Sayyidina Utsman yang pernah membakar Alquran untuk menyelamatkan dari tahrif. Kami mengutip pendapat Imam Suyuthi dalam kitab al-hawi lil Fatawi masjid dan alquran saja boleh dibakar karena untuk menghindari bahaya perpecahan. Apalagi selain itu?.
Namun, dalam jalsah pembahasan. Kami dibantai habis-habisan. Menurut mereka, dalam masalah ini tidak bisa disamakan dengan masjid dziror dan Sayyidina Utsman. Karena disitu Nabi dan Sayyidina Utsman dalam konteks tersebut bertindak sebagai imamah —pemimpin otoritas. Sedangkan Banser disitu bukanlah sebagai pemerintah. Atau paling tidak mendapat kewenangan legitimasi dari pemerintah untuk mengamankan kegiatan tersebut. Berbagai ibaroh —referensi kitab dipaparkan untuk menguatkan argumennya.
Akhirnya, keputusan diambil setelah disahkan oleh mushoheh dalam hal ini yang bertindak adalah yai A'wani salah satu murid pertama Mbah Maimun Zubair yang sangat ngalim. Bahwa tindakan Banser tidaklah dibenarkan secara syara' karena bukan otoritasnya dan juga untuk mengamankan ndak harus dibakar. Banyak cara lain yang lebih etis dan terhormat. Daripada membakar apalagi dalam video yang beredar —saya secara pribadi sangat menyayangkan ekspresi pembakar yang sangat tidak etis, sangat menunjukkan istihza yang berlebihan.
Namun sudahlah, keputusan Bahtsul Masail itu menunjukkan bahwa forum Bahtsul Masail merupakan forum ilmiah yang sangat obyektif. Walaupun semua delegasi berafilisasi pada NU, namun jika pada kenyataanya tidak sejalan dengan kebenaran ilmiah ya disalahkan. Tidak ada sama sekali fanatisme golongan. Bahkan Yai A'wani sempat dhawuh. "Masio Banser iku nghone NU neng salah yo kudu dipentung."
Poin penting lagi, yang saya dapatkan dalam forum tersebut. Adalah semua kemampuan bahtsu bisa didapat kalau memang punya modal mutholaah yang kontinyu. Kalau saya mengamati, dari sekian delegasi yang paling menonjol adalah delagasi dari Lirboyo, setelah saya telusuri —karena ndak berani kenalan adalah Gus Sarang. Putra Yai Said. Dimana abahnya seperti cerita yang saya terima dari ustadz Ilham. Saking sering dan cintanya mutholaah istrinya sampe ngambek minta cerai, karena merasa kalah pesonanya dengan kitab eh. Pernah suatu hari ketika mutholaah beliau mengutus salah seorang santrinya untuk membeli es. Setelah dibelikan, santri itu menunggu disamping beliau untuk memberikan es tersbut. Namun dari isya sampai jam 3 malam sang kiai sama sekali ndak beranjak dari tempat mutholaah nya. Lupa kalau sudah mengutus santrinya membeli es.
Itu abahnya, maka tak heran kalau anaknya seperti itu. Ganasnya dalam forum Bahtsul masail seperti singa. Penyampaiannya, argumennya, analisanya. Bagaimana dengan saya? Entahlah mutholaah aja nek kober tok. Kalau gak sibuk dengan rindu heuheu. Paling tidak saya mendapatkan ilmu dan  banyak pengalaman dari Bahtsul masail ini. Terima kasih pada PP. darut Tauhid al-Hasaniyyah juga temen-temen Lajnah Bahtsul Masail Langitan. Mayit albab yang setia menemani 2 hari disana.
Terakhir tidaklah rugi orang yang bermusyawarah dan tidaka akan menyesal orang yang bermusyawarah.
ما خاب من اشتشار ما ندم من استخار
*Yazidfat

Posting Komentar

0 Komentar