Mengembalikan Pesona Pesantren


Pesantren memiliki sekian banyak keunikan yang hampir menjadi misteri yang sulit dirumuskan menjadi teori. Menyimpan sekian banyak rahasia yang membuatnya menjadi satu-satunya pola pendidikan agama yang berhasil melahirkan ulama-ulama hebat di sepanjang sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Bahkan bukan hanya di Nusantara, banyak diantara para ulama jebolan pesantren yang kredibilitasnya diakui dunia. Seperti Syekh Nawawi al-Bantani yang dijuluki Sayyid Ulama’ Hijaz. Juga Syekh Mahfudz at-Tarmasi Ulama kenamaan asal Tremas, Pacitan.
Santri Langitan
Pesantren jugalah yang tampil sebagai garda terdepan penjaga ideologi bangsa. Ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa umat Islam di Nusantara yang terjajah selama 3,5 abad dan selalu kalah dalam pertikaian politik serta kekuasaan, tapi masih bisa mengembangkan dakwah islamiyahnya tanpa sedikit pun berubah keyakinan dan ideologinya.[1] Ini tentu tidak lepas dari perjuangan pesantren yang bertebaran di pelosok Nusantara.
Besarnya peran pesantren dalam membantu kemerdekaan Indonesia. Ternyata tak membuat keberadaan pesantren diakui eksistensinya. Setelah masa kemerdekaan tepatnya pada masa pemerintahan orde baru, pesantren tak lebih hanya dianggap sebagai lembaga pendidikan konservatif yang dikucilkan. Dan NU, sebagai media berpolitik kaum pesantren pun tak luput dari serangan rezim orde baru. Yaitu ketika pada tahun 1973 Pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto memberhentikan tokoh-tokoh NU dari pemerintahan. Bahkan  Menteri Agama yang sejak awal menjadi langganan tetap NU pun diberikan pada orang lain.[2]

Keadaan seperti itu terus berlanjut hingga periode Orde Baru dilengserkan. Pergantian kekuasaan itu kemudian membuat NU secara otomatis kembali masuk dalam kancah politik praktis.[3] Namun keadaan menggembirakan itu tak sepenuhnya dirasakan kaum pesantren. Stigma negatif terhadap pesantren nyatanya masih santer terdengar. Lembaga pesantren pada saat itu tidak punya posisi strategis seperti layaknya pendidikan umum lainnya di Indonesia. Pesantren seakan dimarginalkan (dipinggirkan) dari kancah pendidikan nasional. Sementara santrinya dianggap sebagai manusia kolot, jumud, dan tak berpendidikan. Disisi lain, pesantren juga dihadapkan dengan ancaman dari kalangan fundamentalis Arab yang kian marak dengan jargon bid’ahnya juga dari kalangan liberal barat yang tentunya melenceng dari faham pesantren yaitu Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah.
Berangkat dari realita diatas, mengingat semakin maraknya pemberitaan miring terhadap pesantren, juga tuduhan-tuduhan tak berdasar yang dialamatkan pada pesantren. Penulis ingin memaparkan berbagai stigma negatif terhadap pesantren yang seakan sudah menjadi mindset kebanyakan masyarakat Indonesia dan mencoba untuk sedikit memberikan klarifikasi atas hal tersebut.
1.     Anti modernitas
Lazimnya, pesantren di Indonesia menerapkan peraturan yang tidak melegalkan santrinya membawa alat komunikasi seperti HP, Laptop dan sejenisnya. Hal ini tentu dimaksudkan agar para santri tidak terganggu fokus belajarnya disebabkan hal tersebut. Tetapi ada sebagian pihak yang justru menganggap hal ini sebagai sikap anti modernitas pesantren. Mereka menganggap bentuk pengekangan tersebut sebagai cerminan konservatisme pesantren.
Tentu anggapan seperti itu tidaklah benar. Karena pesantren sebenarnya tidak sepenuhnya meninggalkan semua yang berbau pembaharuan. Dalam dunia pesantren dikenal sebuah adagium yang menjadi prinsipnya yaitu :
ألمحافظة على قديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Memelihara (tradisi) lama yang baik. Dan mengambil dari (tradisi) baru yang lebih baik”.
Sehingga dalam prakteknya Pesantren selalu selektif dalam memilah budaya atau hal baru yang dianggap penting untuk dipraktekkan. Ini bisa dilihat dari metode pembelajaran pesantren yang biasanya hanya menggunakan sistem sorogan dan bandongan, pada tahun 1916 KH. Wahid Hasyim mulai memperkenalkan sistem madrasah pada Pondok Pesantren Tebuireng yang sebelumnya belum pernah diterapkan.[4]
Kemudian pesantren-pesantren lain pun mulai mengikuti langkah Tebuireng. seperti Langitan dibawah kepemimpinan KH. Abdul Hadi pun mulai menerapkan sistem madrasah (Klasikal).[5]
Selain itu untuk menunjang dakwah di masyarakat di tengah arus globalisme pesantren-pesantren pun juga mulai mendirikan majalah-majalah pesantren untuk mengaktualkan pemikirannya di masyarakat modern. Ini juga menunjukkan bahwa pesantren selalu terbuka kepada budaya modern, selagi budaya itu masih dalam konteks baik (الأصلح).
2.     Keterbelakangan pemikiran
Seperti yang disinggung diatas bahwa pesantren selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang dibangun ulama salaf. Tetapi ini jangan dimaknai sebagai bentuk keterbelakangan, jumud dan tidak progresif dan stigma-stigma negatif lainnya. Karena justru ini merupakan upaya dalam rangka terus menjaga dan memelihara konsep dasar dalam Islam; agar pemikiran-pemikiran yang berkembang atau dikembangkan oleh umat Islam tidak sampai bergeser dari frame Islam.
Berpegang teguh pada salaf juga tidak berarti menutup rapat-rapat ruang untuk berinovasi, memunculkan wacana-wacana baru, yang diharapkan dapat mengembangkan pemikiran dan wacana Islam kedepan.[6] Sehingga dengan semangat tersebut pesantren terus bergerilya dalam mempertahankan, mengembangkan, dan menyampaikan pemikiran-pemikirannya.
Dalam lingkungan pesantren juga telah berkembang metode diskusi partisipatoris dan seminar antar santri (Bahtsul Masail) untuk membahas masalah-masalah kontemporer yang merujuk pada kitab-kitab salaf.[7] Diskusi ini kemudian yang menjadi motor pemikiran pesantren. Terbukti berkat forum tersebut pesantren selalu bersikap reaktif terhadap pemikiran-pemikiran lain yang menyerangnya. Sehingga hadirlah buku, buletin untuk mengcounter pergerakan paham menyimpang tersebut. Seperti buku “Bid’ahnya Tuduhan Bid’ah” dari PP. Al. Falah Ploso, kediri. Juga “Buku pintar berdebat dengan Wahabi” karya Muhammad Idrus Ramli, alumni PP. Sidogiri. Untuk mengungkap kesesatan tasawuf modern ala Agus Mustofa hadir buku “Menelaah Pemikiran Agus Musthofa” karya A. Qusyairi Ismail dan Moh. Achyat PP. Sidogiri. Untuk membendung aliran sesat Syi’ah hadir buku “Mingkinkah Sunni Syi’ah Dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)”. Dan masih banyak lagi karya-karya pesantren yang menunjukkan bahwa pemikiran dalam pesantren tidaklah mati, melainkan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
3.     Kolot dan pola pikir tekstual
“Di Indonesia orang NU dianggap kolot karena lihat sarungnya, wujud fisik itu kemudian dikonotasikan sebagai keterbelakangan pemikiran.” Hasyim Muzadi (Kompas, Rabu 1 Agustus 2004)[8]
           Kutipan pernyataan KH. Hasyim Muzadi diatas memang telah menjadi opini umum atas kalangan pesantren. Memang kalau kita tilik dari sisi historis, pesantren selalu identik dengan sarung. Bahkan ketika zaman penjajahan para ulama mengharamkan penggunanan dasi dan pantalon. Ini karena berpedoman pada hadist nabi:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut.[9]
Bentuk pelarangan ini pun bukan tanpa alasan, langkah ini diambil karena untuk menyelamatkan kebudayaan santri dan membendung pengaruh Kolonial Belanda di Indonesia. Terbukti dengan sikap inilah gerakan patriotisme Indonesia semakin membara. Sehingga sikap ini mendapat pujian dari seorang tokoh pergerakan nasional yaitu Dr. Setia Budi (Douwes Dekker) : “Jika tidak karena sikap kaum-pesantren ini, maka gerakan patriotisme kita tidak sehebat seperti sekarang”.[10]  
Sampai sekarang pun, kaum pesantren masih tetap konsisiten mempertahankan tradisinya tersebut. Bagi mereka sarung bukan hanya sebatas sebagai identitas belaka. Namun lebih dari itu, walaupun sarung sudah tidak sesuai dengan tren busana masa kini. tapi ia tetap punya nilai tersendiri di hati kaum pesantren. Tapi sayangnya karena kelokalan tersebut, sarung malah dijadikan sebagai bahan olok-olok dan untuk membuat stigma antara kelompok modernis dan kelompok tradisionalis.[11]
Kaum modernis menganggap sarung sebagai cerminan kekolotan pesantren berikut pemikirannya. Anggapan kaum modernis itu tentu sangat tidak berdasar. Ini juga berlawanan dengan adagium lawas yang sudah masyhur : “Don’t judge the book by it’s cover” jangan menilai sebuah buku dari sampulnya.
Kaum pesantren, dengan tampilannya yang terkesan tradisional. Tentu tidak bisa dikatakan sebagai orang yang kolot pemikirannya. Hanya sebagai penjalan ‘dogma’ kitab kuning atau biasa disebut sebagai kaum tekstual atau skriptualis.
Ini bisa dilihat dari perkembangan bahtsul masail pesantren yang menganut tiga prosedur pengambilan hukum, yang salah satunya adalah prosedur bermadzhab secara manhajiy (metodologis).[12] Yaitu menyelesaikan masalah hukum dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab.[13]  Jadi kajian yang dilakukan oleh kalangan pesantren lewat Bahtsul Masail tersebut bisa dikatakan sebagai kajian yang kritis dan kontekstual.
4.     Tidak relevan dengan zaman
           Satu lagi pandangan orang awam mengenai pesantren adalah sudah tidak relevannya ajaran yang dipelajari di pesantren dengan perkembangan zaman. Kitab klasik yang menjadi pedoman wajib bagi para santri dianggap telah ‘terlalu tua’ untuk bisa di relevansikan dengan realitas kekinian. Padahal, kalau kita mau kembali menengok sejarah Indonesia. Pasti akan menemukan fakta yang mencengangkan. Yang akan menjatuhkan pendapat orang yang meragukan relevansi kitab kuning dengan zaman.
Ketika Indonesia baru saja merdeka pada tahun 1945, beberapa tahun kemudian, Belanda berniat kembali menduduki Indonesia lewat Provinsi Irian barat. Mereka menguasai wilayah itu seenaknya sendiri. Padahal mereka tahu Indonesia telah merdeka. Menyikapi hal tersebut, Bung Karno sebagai Presiden Indonesia pun berkonsultasi dengan KH. Wahab Hasbullah. Kiai Wahab lantas menjawab tegas, “itu sama dengan orang ghasab”. Kemudian Kiai Wahab melanjutkan singkat, “Adakan perdamaian”.
           Tanpa pikir panjang Bung Karno langsung mengutus Soebandrio untuk mengadakan perundingan dengan Belanda. Tapi, apa daya perundingan itu tak membuahkan hasil. Kegagalan ini kemudian disampaikan Bung Karno pada Kiai Wahab. “kiai, apa solusi selanjutnya menyelesaikan masalah Irian Barat?”
           “Akhodzahu Qohron! (ambil/ kuasai dengan paksa!)” Kiai Wahab menjawab tegas.
           “Apa rujukan kiai untuk memutuskan masalah ini?”
           “Saya mengambil literatur kitab Fath al-Qarib dan syarahnya (al-Bajuri)”
           Setelah itu, barulah Bung Karno membentuk barisan Trikora (Tiga Komando Rakyat) yang bertugas merebut kembali Irian Jaya dari tangan Belanda.[14] Kita bisa membayangkan, jika Fath al-Qarib dan al-Bajuri yang notabene adalah kitab dasar di pesantren, bisa dikontekstualisasikan untuk menyelesaikan masalah internasional seperti kasus Irian Barat, bagaimana dengan kitab-kitab yang level pembahasannya lebih tinggi, kompleks dan mendalam? Wallahu A’lam
           Sebagai penutup penulis ingin mengutip Firman Allah SWT agar kita selalu ingat tujuan kita sebagai santri.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ   [التوبة/122]
           Artinya: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”

DAFTAR PUSTAKA

Maimoen, KH. Muh. Najih. 2011. Pesantren masa depan; Format dan Harapan. Rembang: Toko Kitab al-Anwar.
Fadeli, H. Soleiman. 2007. Antologi NU. Surabaya: Khalista
Khuluq, Lathiful. 2003. KH. Hasyim Asyari: Profil Pejuang dari Jombang”, dalam Jajat    Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan. Jakarta: Gramedia.
Tim BPS PP. Langitan. 2015.  Buku Penuntun Santri. Tuban: Majelis al-Idarotil Ammah                Pondok Pesantren Langitan.
Ahmad, Moh. Ahyat dan A. Qusyairi Ismail. 2010.  Mengapa Saya Harus Mondok di                    Pesantren?. Pasuruan: Pustaka Sidogiri
Rosyid, Ikhsan. 2008.  Sarung & Demokrasi: Dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan.                Surabaya: Khalista.
Dawud, Abi. Tt. Sunan Abi Dawud. Tanpa kota: Maktabah Syamilah.
Zuhri, KH. Saifuddin. 1974.  Guruku Orang-orang Pesantren. Jakarta: PT. Al-Maarif.
Dr. Mahsun. 2015. Mazhab NU, Mazhab Kritis: Bermazhab secara manhajiy dan                         implementasinya. Depok: Nadi Pustaka.
Tim PW LTN NU Jatim. 2007.  Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum         Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes NU. Surabaya: LTN NU Jatim.
Rijal Mumazziq Zionis. 2009. Cermin Bening dari Pesantren. Surabaya: Khalista.



Nama             : A. Yazid Fathoni
Kelas              : 1 B MTs F
Kategori        : Artikel Ilmiah









[1] KH. Muh Najih Maimoen, Pesantren masa depan; Format dan Harapan, (Rembang: Toko kitab al-Anwar, 2011) hal. 2
[2] H. Soleiman Fadeli, Antologi NU, Surabaya: Khalista, 2007, hal. 21.
[3] Ibid, hal. 22
[4] Lathiful Khuluq, “KH. Hasyim Asyari: Profil Pejuang dari Jombang”, dalam Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan (Jakarta: Gramedia, 2003) hal. 54
[5] Tim BPS PP. Langitan, Buku Penuntun Santri (Tuban: Majelis Idaroh Ammah PP. Langitan, 2015) hal. 47.
[6] Moh. Achyat Ahmad, A. Qusyairi Ismail, Mengapa Saya Harus Mondok di Pesantren?, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2010) hal. 238.
[7] KH. Muh Najih Maimoen, Pesantren masa depan; Format dan Harapan, (Rembang: Toko Kitab al-Anwar, 2011) hal. 21.
[8] Ikhsan Rosyid, Sarung & Demokrasi:Dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan, (Surabaya: Khalista, 2008) hal. 185.
[9] Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, Maktabah Syamilah, t.t, vol. 4 hal. 78
[10] KH. Saifuddin Zuhri,  Guruku Orang-orang Pesantren, (Jakarta: PT. Al-Maarif, 1974) hal. 86.
[11] Ikhsan Rosyid, Sarung & Demokrasi:Dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan,(Surabaya: Khalista, 2008) hal. 190.

[12] Dr. Mahsun, Mazhab NU, Mazhab Kritis, (Depok: Nadi Pustaka, 2015) hal. 4.
[13] Tim PW LTN NU Jatim, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes NU, (Surabaya: LTN NU Jatim, 2007) hal. 446.
[14] Rijal Mumazziq Zionis, Cermin Bening dari Pesantren, (Surabaya: Khalista, 2009) hal. 74.

Posting Komentar

0 Komentar